Page 92 - Masa-il-Diniyyah-Buku-Keempat_Dr.-H.-Kholilurrohman-MA
P. 92
guratan], dan nabi tidak mencegah”. Padahal Rasulullah dan
isteri-isterinya berpakian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat
beberapa mil dari Madinah.
Hadits pertama di atas diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan
al-Baihaqi dalam suatu bab yang keduanya menamakan bab
tersebut dengan “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai
wewangian”. Bab tersebut dinamakan demikian karena
keduanya paham bahwa hukum perempuan memakai minyak
wangi adalah makruh tanzih. Lafazh makruh jika diungkapkan
secara mutlak maka yang dimaksud adalah makruh tanzih,
sebagaimana dinyatakan para ulama madzhab Syafi’i. Syaikh
65
Ahmad ibn Ruslan berkata :
بثُ لاثتمٗ فكُ ن إ لب # بذعُ لَ هوركلما لعافو
(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia
tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan
melaksanakan syari’at, ia diberi pahala).
Sebagaiman diketahuai al-Baihaqi adalah salah seorang
ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab Syafi’i ini
juga diambil oleh madzhab Hanbali dan Maliki. Artinya semua
madzhab menyatakan bahwa lafazh “makruh” jika disebut
secara mutlak maka yang dimaksud adalah “makruh tanzih”.
Adapaun dalam madzhab Hanafi, umumnya penyebutan
tersebut untuk tujuan “makruh tahrim”; artinya pelaku
perbuatan tersebut telah berdosa.
Dengan demikian, orang yang mengharamkan keluarnya
perempuan dengan wewangian, akan bersikap apa terhadap
hadits ‘Aisyah di atas yang merupakan hadits shahih, karena
65 Matan az-Zubad (h. 10)
88