Page 233 - Membersihkan Nama Ibn Arabi_Dr. H. Kholilurrohman, MA
P. 233
Membersihkan Nama Ibn Arabi | 231
mengatakan bahwa tuhan harus satu, tidak boleh ada sekutu bagi-
Nya 243 .
Ungkapan-ungkapan Ibn Arabi dalam al-Futûhât al-Makkiyyah
dalam penjelasan bahwa Allah tidak ada sekutu baginya banyak kita
temukan. Di antaranya dalam Bâb al-Asrâr, beliau menuliskan
sebagai berikut:
243 Faedah: Para ulama membagi hukum akal kepada tiga bagian. Pertama;
Wâjib ‘Aqli; yaitu sesuatu yang wajib adanya, artinya akal tidak dapat menerima
jika sesuatu tersebut tidak ada, yaitu; keberadaaan Allah dan sifat-sifat-Nya.
Kedua; Mustahîl ‘Aqli; yaitu sesuatu yang mustahil adanya, artinya akal tidak
dapat menerima jika sesuatu tersebut ada, yaitu adanya sekutu bagi Allah. Ketiga
Jâ’iz atau Mumkin ‘Aqli; yaitu sesuatu yang keberadaan dan ketidakadaannya
dapat diterima oleh akal, yaitu alam semesta atau segala sesuatu selain Allah.
Sifat Qudrah (kuasa) Allah hanya terkait dengan Ja’iz atau Mumkim ‘Aqli
saja. Artinya, bahwa Allah Maha Kuasa untuk menciptakan segala apapun yang
secara akal dapat diterima ada dan tidak adanya. Sifat Qudrah Allah tidak terkait
dengan Wâjib ‘Aqli dan Mustahîl ‘Aqli. Dengan demikian tidak boleh dikatakan:
“Apakah Allah kuasa untuk menciptakan sekutu bagi-Nya, atau menciptakan
Allah-Allah yang lain?” Pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan kufur.
Pertanyaan ini tidak boleh dijawab “iya”, juga tidak boleh dijawab “tidak”.
Karena bila dijawab “iya” maka berarti menisbatkan adanya sekutu bagi Allah
dan menetapkan keberadaan sesuatu yang mustahil adanya, dan bila dijawab
“tidak” maka berarti menisbatkan kelemahan kepada Allah. Jawaban yang benar
adalah bahwa sifat Qudrah Allah tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqli dan Mustahîl
‘Aqli.
Hal terpenting ialah bahwa semacam pertanyaan di atas tidak boleh
diungkapkan, terlebih untuk mendikte seseorang atau mengujinya. Pertanyaan-
pertanyaan semacam ini pada awalnya dilemparkan oleh kaum filsafat sesat
untuk menyesatkan orang-orang Islam awam. Dan yang menjadi bencana besar
ialah bahwa pertanyaan serupa sering diungkapkan oleh beberapa dosen
perguruan tinggi Islam di hadapan mahasiswanya. Yang lebih miris lagi, baik
dosen maupun mahasiswa tidak memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut.
Akhirnya, tanpa disadari yang mengajar dan yang belajar sama-sama sesat.
Na’udzu Billâh.