Page 120 - Mengungkap-Kerancuan-Pembagian-Tauhid-Kepada-Uluhiyyah-Rububiyyah-dan-al-Asma-Wa-ash-Shifat-Dr.-H.-Kholilurrohman-MA-277-Hal
P. 120
118 | Mengungkap Kerancuan Tiga Tauhid
ِ ِ
ِ
ِ ِ
ْوسف ن ْ ِ ِ ِ ِِ ِ َ َْ ُ ْ ِ َ ََْ
ْ ءاقْ لتْنمْوًرا تلاوْ ِ ليلا تلاْ قحْدبعْ للْ نَأْناسنلإاْدقتع َ
َْ
َ
ْ
ْ ْ َ ْ ْ
َ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ ُّ
ْ ْ.ءايهَ لأاْ ِ ضع بلْدا ْ يجلإاْوَأْبو نذلاْةرفغمْوَأ
ُ
ْ
َ ْ
ْ َ َ َ
َ
ْ
َ َ ْ
ْ
“Ibadah adalah mempersembahkan puncak perendahan diri
dan ketundukan atau meyakini orang yang ditaati dan
ditunduki sebagai tuhan, atau meyakininya memiliki sebagian
kekhususan Allah seperti menciptakan sesuatu, mengampuni
dosa, memberi pertolongan, manfaat atau menghindarkan dari
bahaya dengan sendirinya (tanpa kehendak Allah), dan
terlaksananya kehendaknya (tanpa seizin Allah) dan
semacamnya. Karena pengakuan sebagai tuhan itu bermacam-
macam, di antaranya ketika seseorang meyakini bahwa hamba
memiliki hak untuk menghalalkan dan mengharamkan dari
dirinya sendiri, atau bisa mengampuni dosa, atau mampu
48
menciptakan sebagian hal” .
Dengan demikian Nida' al-Gha-ib (memanggil Nabi atau
wali yang tidak hadir dan di hadapan seseorang) atau Nida' al-
Mayyit (memanggil Nabi atau wali yang sudah meninggal) bukan
merupakan ibadah kepada selain Allah, kecuali jika seseorang
meyakini bahwa Nabi atau wali yang dipanggil tersebut
menciptakan pertolongan, memberi pertolongan dengan
sendirinya tanpa kehendak Allah dan semacamnya. Seandainya
diklaim secara mutlak bahwa setiap nida‟ itu adalah ibadah, berarti
pasti-lah sama-sama terlarang, baik nida‟ kepada yang masih hidup
atau nida‟ kepada yang sudah meninggal. Karena sama saja baik
yang masih hidup atau yang sudah meninggal, keduanya tidak
memiliki ta'tsir tanpa kehendak Allah.
48 Lihat Syekh Abdullah al-Harari, Sharih al-Bayaan, j. 1, h.
233-234, al-Maqaalaat as-Sunniyyah, h. 270, Bughyah ath-Thalib, j. 1, h. 19-
22, al-Habib Zainal 'Abidin al-'Alawi, al-Ajwibah al-Gha-liyah, h. 55-57.