Page 48 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 48
Di pagi hari pekerjaanku mengisi padasan, tempat air untuk berwudhu, dan
genthong, tempat air untuk keperluan memasak. Aku mengambil air dari
sumur tetangga. Di sore hari menyapu lantai dan halaman. Halaman rumah
paman cukup luas karena merupakan jalan kampung dan menjadi tempat jualan
gorengan Lik Kamirah, tetangga belakang rumah.
Sekali-sekali aku ditugasi untuk memasak nasi atau ngliwet. Alhamdulillah di
rumah sudah ada kompor minyak. Untuk lauk, bulik yang menyiapkan sayur,
aku tinggal memanaskan, atau menunggu lauk yang dibawa bulik dari pasar.
Belum ada rice cooker. Biasanya aku membiarkan nasi menjadi agak gosong
sehingga menghasilkan intip.
Pak dan bulik Yasir, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih atas segala budi
baik dan bimbinganmu selama aku bersama kalian. Aku belum sempat
membalas kebaikan kalian karena Allah lebih dulu memanggil kalian sebelum
aku hidup stabil. Aku doakan semoga Allah mengampuni segala dosa dan
menempatkan kalian ditempat yang mulia di sisi-Nya. Amin.
Bulan-bulan awal aku masih menyesuaikan diri dengan kehidupan, baik di
rumah paman, di sekolah, maupun di lingkungan. Yogyakarta adalah kota
besar, yang sudah sangat ramai pada waktu itu. Namun, tidak lagi seperti
waktu di Wonosari, kini aku sudah tidak merasakan ketidakrelaan
meninggalkan desa, juga simbok. Aku sudah beranjak remaja serta sudah harus
berani meninggalkan kampung halaman demi menggapai cita-cita.
Aku pulang ke desa hanya apabila ada libur kuartalan. Perjalanan pulang ke
desa tidak semudah saat ini. Dari Yogyakarta ke Wonosari aku naik bis yang
jadwalnya hanya dua atau tiga kali sehari, tergantung ketersediaan bis, DAMRI,
atau BAKER. Dari Wonosari ke Ponjong, kalau masih kebagian, naik suburban,
satu-satunya kendaraan yang ada. Biasanya trayek terakhir dari Wonosari ke
Ponjong berangkat jam 4 sore. Apabila sudah ketinggalan, ya harus jalan kaki.
Apabila dari Yogyakarta tidak kebagian bus, maka kadang aku juga menumpang
truk angkutan barang, biasanya barang-barang kelontong. Namun, kadang juga
mengangkut sayur-mayur, dari pangkalan truk di Pasar Beringharjo.
Aku pernah beberapa kali pulang ke desa dengan naik sepeda, menempuh
perjalanan sejauh hampir 100 km. Jika naik sepeda, yang paling ngeri adalah
sewaktu melewati tanjakan Patuk. Tanjakannya cukup panjang. Apabila
menanjak, sepeda harus aku tuntun. Apabila menurun untuk mengurangi
kecepatan, aku memasang sabut kelapa di roda belakang.
Pernah juga aku mengajak Mohari, teman SMA-ku naik sepeda dari Bantul ke
Koripan. Selama di SMA, aku sering berpetualang bersepeda bersama teman

