Page 51 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 51
tidak ada perubahan personel. Hal tersebut membuat kami menjadi jenuh
sehingga kelasku dikenal sebagai kelas nakal. Guru-guru pun sering diganggu,
terutama guru-guru yang dianggap killer dan guru perempuan yang masih
muda. Kami pernah mendapat hukuman dari wali kelas, pak Soetjipto, korve
halaman dan mengecat dinding sekolah selama satu minggu. Hal tersebut
disebabkan ulah tiga sekawan yang sangat bandel, Romzy (anak Menteri
Urusan Haji), Charis, dan Hartono yang membuly Wakil Kepala Sekolah,
bapak Doelliman yang terkenal killer. Mereka menggantung sepeda bapak
Doelliman dipohon yang tinggi dibelakang kantin sekolah.
Di kelas 2, aku mulai kesulitan mengikuti pelajaran yang terasa semakin berat.
Banyak variasi materi pelajaran matematika yang harus aku pelajari. Ada
aljabar, geometri, trigonometri, vector, kalkulus, ukur lukis dan lain-lain. Aku
tidak bisa lagi bertahan dalam posisi 3 besar. Banyak siswa yang lebih cerdas.
Bahkan pada waktu kenaikan kelas, aku hanya menempati rangking 10, masih
lumayan tidak terlalu tertinggal di belakang.
Pada saat kelas 2 ini, ada kabar bahwa Pemerintah Jerman akan memberikan
beasiswa kepada yang berminat dan memenuhi syarat untuk kuliah di Jerman.
Berita ini tentu kami sambut gembira dan kami beramai ramai mengambil
pelajaran tambahan bahasa Jerman, termasuk aku. Namun, sampai pendidikan
berakhir tidak ada realisasinya. Sayang aku tidak memelihara kemampuan
bahasa Jermanku sehingga tidak ada lagi yang masih aku ingat. Beberapa kata
yang kuingat hanya “sirgood danken”, “guten morgen”, “guten nach” dan “ich
libe dich”.
Tahun 1963–1964 terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Rakyat
frustrasi karena bahan pokok bukan hanya mahal, juga sangat terbatas. Di kota
terjadi antrean panjang di mana-mana untuk mendapatkan beras, tepung, gula,
minyak goreng, minyak tanah, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
Kondisi yang sudah buruk ini diperparah dengan adanya gejolak politik dan
terjadinya kemarau yang panjang. Hasil pertanian gagal sehingga Pemerintah
mengimpor bulgur sebagai pengganti beras. Konon di negaranya, Amerika,
bulgur itu adalah makanan ternak. Thiwul menjadi makanan orang kota, itu
pun apabila ada pasokan dari berbagai daerah.
Di Gunungkidul kondisinya lebih parah lagi sehingga bapak tidak mampu
mengirim uang untuk membayar iuran sekolahku. Jangankan untuk
mendapatkan uang, untuk bisa makan seadanya saja sangat susah. Bahkan
bonggol pohon pisang, kulit singkong kering dan senthe yang bisa membuat

