Page 75 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901_tanpa tambahan-1-1-98
P. 75

bersantai  sejenak,  menghibur  diri,  melepaskan  rasa  rindu,  melepaskan
        ketegangan yang aku alami, dan tentu sedikit pamer.
        Aku mengambil cuti ke desa, mengunjungi orang tua, terutama simbok, yang
        sudah aku rindukan. Aku tahu simbok di samping rindu juga khawatir apakah
        aku  mampu  menjadi  tentara,  karena  waktu  kecil  aku  lemah  fisik,  bahkan
        menurut  cerita  kakak-kakak,  hingga  umur  2  tahun  aku  belum  bisa  berjalan.
        Aku dijuluki  “si lemper”. Menurut cerita kakak juga, agar dapat tumbuh kuat,
        bisa segera berjalan dengan tegak, aku diberi makanan tambahan berupa telor
        ayam setiap hari minimal satu butir yang berlanjut  hingga aku beranjak remaja.


        Dalam perjalanan  pulang  ke  desa,  aku  merasa  terharu  karena  banyak  orang
        memperhatikan aku yang berseragam tentara dengan tanda pangkat yang tidak
        biasa.  Rupanya  waktu  itu,  aku  adalah  Taruna  pertama  dari  Gunungkidul,
        khususnya  dari  Ponjong.  Perjalanan  dari  Magelang–Yogyakarta–Wonosari  –
        Ponjong–Koripan, masih seperti waktu aku SMA, berganti ganti kendaraan dan
        diteruskan dengan berjalan kaki. Hal tersebut membuat keadaan menjadi wajar
        kalau aku diperhatikan banyak orang. Aku merasa sangat bangga membawa tas
        jinjing pembagian, warna coklat berlogo AMN.

        Setiba  di  rumah,  simbok  menyambut  aku  dengan  haru  biru.  Namun,  aku
        melihat  ada  kekhawatiran  di  mata  beliau.  Aku  mengerti  sepenuhnya  karena
        dalam benak beliau pasti terbetik bahwa tentara itu identik dengan kekerasan
        dan  perang.  Sementara  itu,  di  hatinya  aku  adalah  anak  yang  lemah,  manja,
        bahkan tidur pun masih dalam dekapannya.
        Selama  cuti,  setiap  hari  aku  mengisi  waktu  bersama  simbok.  Aku  berusaha
        meyakinkan  beliau  bahwa  aku  tidak  perlu  dikhawatirkan.  Aku  menunjukkan
        diri  bahwa  aku  kuat.  Akhirnya  beliau  maklum  dan  merestui  pilihanku  untuk
        terus belajar dan berlatih di AMN.

        Setelah satu minggu cuti di desa, aku melanjutkan sisa cutiku di Yogyakarta,
        mengunjungi,  dan  menginap  di  rumah  paman.  Aku  bertemu  teman
        sepermainan    di  kampung  Ledok  Tukangan  serta  teman-teman  sekolah.
        Ternyata,  beberapa  teman  yang  dulu  aktif  sebagai  anggauta  PR  telah
        diamankan.  Istilahnya  diciduk.  Adapun,  untuk  bertemu  teman  sekolah  yang
        rumahnya  jauh,  aku  malas  karena  tidak  ada  kendaraan.  Taruna  hanya  boleh
        naik mobil atau  motor. Naik becak diperbolehkan apabila hari hujan, sedang
        sakit, atau mendampingi orang tua. Waktu itu di Yogyakarta belum ada angkot
        atau bus kota. Mau naik taksi tentu keberatan karena uang saku Taruna sangat
   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79   80