Page 34 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 34
anggap kamu seperti “berak” atau “kencing”. Merasa lega,
nyaman, puas, dan bersyukur apabila sudah mengeluarkan, tanpa
mengharapkan balasan. Intinya adalah menjadi manusia jangan
pelit, harus mau, dan bisa berbagi dengan sesama, apalagi kepada
mereka yang membutuhkan.
Ada lagi hal yang mengesankan yaitu dalam menerima tamu.
Simbok, tentu juga bapak, mengikuti ungkapan Jawa “Gupuh,
Aruh, Rengkuh, Lungguh, Suguh” sebagai bentuk adab dan
penghormatan kepada tamu. Menurut keyakinan orang Jawa,
tamu adalah pembawa rezeki dan berkah.
“Gupuh” artinya bergegas dan antusias saat menyambut
kehadiran tamu. “Aruh” artinya sapa, disambut dengan ramah
sehingga tamu merasa tidak canggung dan nyaman dalam
berkomunikasi.
“Rengkuh” artinya rangkul, tamu diajak, digandeng, diterima
dengan tangan terbuka, dan lapang dada.
“Lungguh‟ artinya duduk, tamu harus segera dipersilahkan duduk,
di tempat yang semestinya agar merasa nyaman dan santai.
“Suguh” artinya menjamu, tamu sewajarnya diberi jamuan yang
terbaik sesuai kemampuan. Dalam menjamu tamu ada istilah
“kalah cacak menang sanak”, biarlah merugi dalam materi, tetapi
mendapatkan sahabat. Berkorban demi menyenangkan tamu,
tidak ada istilah merugi. Intinya adalah setiap tamu mesti diterima
dan diperlakukan dengan baik sehingga merasa nyaman dan
senang. Tamu adalah raja.
Walaupun tidak pernah bersekolah, tidak pernah belajar secara
formal, tetapi simbok piawai dalam memasak, pandai meramu
bumbu desa yang diambil dari
berbagai tumbuhan herbal yang ditanam sendiri. Apapun yang
dimasak terasa enak. Hasil masakannya diakui oleh kerabat dan
para tetangga. Aku selalu terkenang masakan simbok, yang terasa
sangat khas, seperti sambel cabuk, jangan blekothok, sambel
bawang tempe, dan jangan oblok-oblok lombok ijo dengan tempe
semangit. Aku masih ingat masakan simbok apabila hari lebaran,

