Page 39 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 39

Mas  Sanggi  sering  mengajak  aku  mengairi  sawah  dan  menjaga
               ladang  di  malam  hari.  Beliau  mengajari  aku  untuk  tidak  takut
               melihat  dan  melintasi  tempat-tempat  yang  dianggap  angker,
               seperti  gua,  kedhung,  kuburan  tua,  batu  geneng,  atau  pohon
               beringin  tua.  Dulu  di  tempat-tempat  yang  seperti  itu,  oleh
               penduduk yang masih percaya kepada hal-hal mistis dan tahayul,
               setiap  malam  Jumat  Kliwon  ditempatkan  sesaji  yang  disebut
               “panjang  ilang”.  Biasanya  panjang  ilang  itu  berupa  nasi  tumpeng
               dilengkapi dengan berbagai lauk terutama panggang ayam, pisang
               masak  satu  sisir,  sebungkus  rokok,  dan  segelas  kopi.  Yang
               beruntung  biasanya  anak-anak  gembala  yang  nakal,  anjing,  atau
               kucing liar yang berkeliaran di malam hari.

               Dari  belajar  dengan  kakak-kakakku,  aku  juga  sudah    dapat
               membaca  sebelum  masuk  sekolah  dan  menghafal  Al  Fathihah
               karena mereka pernah belajar mengaji kepada guru disurau dan
               dari  wo  (pakde)  Pakruroji.  Dulu  di  desa  belum  ada  TK  atau
               playgroup.
               Aku merasa bahwa kakak-kakakku sangat menyayangiku, bisa jadi
               karena  aku  adik  bungsu,  dengan  perbedaan  umur  yang  cukup
               jauh,  pantas  untuk  dijadikan  tumpuan  permainan  dan  dianggap
               bukan saingan mereka.


               Setelah  aku  masuk  sekolah  SMA,  kakak-kakakku  kemudian  juga
               mendapat  pekerjaan  selain  bertani.  Mas  Satam  merantau  ke
               Jakarta dan bekerja sebagai PNS di Departemen Kehakiman. Mas
               Yahyo juga bekerja sebagai PNS di Kanwil Kesehatan walaupun
               tetap di desa setelah kursus mengetik yang didirikannya ditutup.
               Mas Sanggi tetap sebagai petani. Yu Sayem menikah dengan kang
               Sapto, yang juga PNS.

               Begitulah kenangan bersama keluargaku selama aku di desa. Aku
               lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat sederhana, dalam
               keluarga  petani  tradisional,  di  desa  yang  sepi  belum  tersentuh
               oleh teknologi, tetapi terasa damai, tenang, dan membahagiakan.
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44