Page 35 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 35
yaitu nasi uduk, di desa disebut “sego wuduk” dengan lauk pauk
beserta ingkung ayam dan empal. Di hari Lebaran simbok juga
biasa menyediakan berbagai makanan ringan berupa apem goreng
atau kukus, criping, lempeng, jadah tetel, lemper, dan lainnya
dalam kuantitas yang cukup banyak. Hal tersebut disebabkan
banyaknya anak cucu, sanak keluarga, dan para tetangga yang
datang untuk “ngabekti”. Aku juga masih ingat sayur lebaran yang
tersisa oleh simbok dimasak kembali sehingga menjadi
“bledrang”.
Masyarakat desa mengenal beliau juga sebagai juru masak karena
apabila ada warga yang hajatan, beliau pasti diminta untuk menjadi
penasihat tentang masakan dan hidangannya.
Pada masa itu, apabila orang desa mempunyai hajat, khitanan, atau
mantu, maka mereka menyiapkan konsumsi dengan cara
memasak di rumah, tidak ada catering. Penghargaan orang
terhadap pemangku hajat dinilai dari kualitas dan kuantitas
konsumsi yang dihidangkan. Apabila konsumsi lezat dan
dihidangkan secara “mbanyu mili‟, maka orang yang mempunyai
hajat akan kesohor. Oleh karena itu, dibutuhkan orang yang bisa
membuat ramuan serta cara memasak agar makanan yang
disajikan disenangi para tamu. Maka orang seperti simbok
dibutuhkan.
Apabila memasak di rumah sendiri, biasanya simbok memasak
didapur. Begini gambaran dapur di rumah bapakku. Dapur
merupakan bangunan yang dibuat terpisah, khusus untuk tempat
memasak. Di dapur terdapat tungku yang terbuat dari batu,
disebut pawon, sebagai bagian utama untuk proses memasak.
Bahan bakar untuk memasak adalah kayu yang sudah kering.
Selain pawon, di dapur juga ada pogo untuk tempat menyimpan
bahan mentah, alat makan, dan alat masak. Tidak ada kulkas. Agar
sayuran tetap segar cukup direndam dalam air atau digantung
didalam sumur sebelum dimasak.
Ada juga meja atau amben untuk meracik dan menampung hasil
masakan, ada genthong untuk menyimpan air bersih, ada siwur
yaitu gayung yang terbuat dari tempurung kelapa.

