Page 41 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 41
Aku termasuk anak paling kecil di kelas. Banyak temanku yang
umur dan badannya lebih besar, bahkan beberapa sudah termasuk
remaja. Hal ini bisa dimengerti karena sekolah ini baru berdiri.
Aku termasuk angkatan ketiga di sekolahku. Sebelumnya, SR
hanya ada di Kecamatan, yang menerima murid sangat terbatas.
Apalagi masyarakat desa belum mempunyai pandangan yang
terbuka tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Mereka
masih terbelenggu oleh pemikiran zaman kolonial dan
berpendapat bahwa sekolah hanya akan membuang waktu yang
mestinya bisa digunakan membantu orang tua bertani. Mereka
berpikir toh akhirnya anak-anak akan kembali lagi menjadi petani.
Pemerintah pun pada waktu itu belum memberikan fasilitas yang
memadai, terutama bangunan sekolah dan ketersediaan tenaga
guru karena negara baru saja merdeka, masih fokus menangani
masalah keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat.
Pada zaman kolonial, anak-anak desa tidak mendapat kesempatan
untuk memperoleh pendidikan formal. Hanya anak-anak pejabat,
priyayi, dan anak orang berada yang bisa dan boleh bersekolah.
Setelah proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, barulah
dibuka sekolah untuk semua anak, sampai ke desa-desa, termasuk
SR Sumbergiri yang didirikan tahun 1950, lima tahun setelah
proklamasi, sebagai realisasi amanat UUD NKRI 1945, yaitu
sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah “untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa”
SR Sumbergiri, tempat aku bersekolah, menempati rumah
penduduk. Tidak mencerminkan sebagai gedung sekolah.
Bangunannya berbentuk joglo, berlantai tanah dan berdinding
gedheg. Agar menjadi ruangan kelas, bangunan disekat-sekat, juga
dengan dinding gedheg sehingga apabila guru mengajar disatu
kelas, bisa didengar oleh kelas lainnya, apalagi jika ada pelajaran
menyanyi.
Walaupun ruangan kelas tidak memadai, tetapi inventaris sekolah
berupa sarana dan prasarana kelas dilengkapi. Tiap kelas tersedia

