Page 65 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 65
Jangankan untuk mendapatkan uang, untuk bisa makan seadanya
saja sangat susah. Bahkan bonggol pohon pisang, kulit singkong
kering dan senthe yang bisa membuat bibir melepuh pun dimakan.
Aku juga tidak mungkin meminta atau meminjam uang kepada Lik
Yasir.
Untuk mendapatkan uang iuran sekolah, aku terpaksa harus
mencari sendiri. Aku mencari peluang, pekerjaan apa yang bisa
menghasilkan uang, tetapi yang tidak mengganggu sekolahku.
Kepala kelompok tukang copet Ledok Tukangan, mbah Gareng
mengajak aku untuk bergabung karena dia sering melihat aku di
pasar Beringharjo. Tentu, ajakan itu aku tolak. Akhirnya aku
mendapatkan pekerjaan menjadi loper koran dadakan dan
kadang-kadang membantu orang membelikan karcis untuk
nonton film, sebagai calo, di gedung bioskop “INDRA”, seberang
pasar Beringharjo.
Setelah beberapa waktu, hampir satu tahun, ekonomi berangsur
membaik, kondisi pertanian bapak juga semakin membaik seiring
datangnya musim penghujan. Kiriman dari bapak untuk bayaran
sekolah mengalir kembali, maka aku berhenti dari pekerjaan loper
koran dan calo karcis bioskop.
Dari pengalaman itu, aku mendapat pelajaran bahwa orang tidak
boleh putus asa bila menghadapi kesulitan, pasti ada jalan apabila
ada kemauan, berusaha dan dijalani dengan sungguh-sungguh.
Kata orang “when there is a will, there is a way”.
Sementara itu, situasi politik semakin memanas dipicu oleh
gencarnya maneuver PKI. Hal tersebut memancing reaksi dari
parpol lain yang berideologi nasionalis dan agama, khususnya
partai Islam. Muncul berbagai organisasi massa yang berbasis
politik, baik di sekolah, universitas, kantor, maupun di masyarakat
yang bergerak mencari dan mempengaruhi massa sehingga sering
terjadi pergesekan. Di sekolah-sekolah ada IPPI, GSNI, di
Universitas ada CGMI, GMNI, HMI, IMM, di masyarakat petani
ada BTI, di pabrik dan perkebunan ada Sarbupri, di bidang seni

