Page 61 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 61
barang, biasanya barang-barang kelontong. Namun, kadang juga
mengangkut sayur-mayur, dari pangkalan truk di Pasar
Beringharjo.
Aku pernah beberapa kali pulang ke desa dengan naik sepeda,
menempuh perjalanan sejauh hampir 100 km. Jika naik sepeda,
yang paling ngeri adalah sewaktu melewati tanjakan Patuk.
Tanjakannya cukup panjang. Apabila menanjak, sepeda harus aku
tuntun. Apabila menurun untuk mengurangi kecepatan, aku
memasang sabut kelapa di roda belakang.
Pernah juga aku mengajak Mohari, teman SMA-ku naik sepeda
dari Bantul ke Koripan. Selama di SMA, aku sering berpetualang
bersepeda bersama teman hingga ke Prambanan, ke Delanggu
Klaten, ke Palbapang Bantul, dan ke Sentolo Kulonprogo.
Kampung Ledok Tukangan dihuni oleh kelompok menengah
kebawah dan sesuai namanya semua tukang ada di sana, yang legal
maupun tidak legal. Para tukang itu membentuk kelompok sesuai
profesinya. Ada kelompok tukang jahit, tukang cukur, tukang
becak, tukang bakso hingga tukang copet bahkan tukang pukul
atau preman. Namun, kehidupan di sana tetap aman dan damai.
Sesama warga hidup saling menjaga. Banyak anak-anak sebayaku
di sana dan aku segera bisa akrab dengan mereka karena merasa
sepadan. Aku ikut aktif dalam berbagai kegiatan yang dikoordinir
oleh sinoman kampung. Sekarang disebut karang taruna.
Aku menjadi akrab dengan mbah Gareng, koordinator tukang
copet, kang Salamun tukang jahit yang jadi ketua sinoman,
Sarjono tukang bakso, Bartono dan Upik Sriresnani koordinator
pengajian, serta teman-teman yang tergabung dalam organisasi
sinoman kampung. Aku akrab dengan Sarjono. Hal tersebut
disebabkan dia selalu menyisakan kuah bakso untukku setelah
berjualan. Dengan kuah bakso itu yang kemudian aku campur
dengan intip menjadi makan vaforitku.
Aku juga sempat belajar mengaji kepada ustadz Abdul Azis, ayah
Upik, orang Padang, pemilik satu-satunya surau di kampung itu.
Namun, kegiatan mengaji hanya berjalan satu tahun, tidak

