Page 59 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 59
seperti sewaktu di SMP, tetapi aku tidak merasa rendah diri. Aku
bangga bisa diterima di SMA Teladan. Dibandingkan dengan
teman-teman tentu aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa
karena aku anak desa dari keluarga petani sederhana yang masih
polos, pergaulan terbatas, dan sudah barang tentu tidak didukung
oleh kemampuan finansial yang memadai.
Di Yogya, aku tinggal dirumah paman jauh, Paklik (Lik) Yasir, yang
kebetulan juga saudara dari kakak iparku kang Karto Salamun. Lik
Yasir tinggal di kampung Ledok Tukangan, Danurejan, dipinggiran
kali Code. Walaupun dikota, kampung ini sungguh terisolasi,
letaknya dilembah, tidak dilintasi jalan raya, hanya ada jalan
setapak.
Rumah Lik Yasir sangat sederhana berupa bangunan semi
permanen, berlantai
plesteran, berdinding setengah tembok, dan tidak ada kamar
mandi.
Untuk mandi atau mencuci pakaian aku menumpang disumur
tetangga atau ke kali Code. Buang air besar juga harus ke kali
Code yang jaraknya sekitar 500 m, melewati tanah kosong dan
rumpun bambu liar. Menjadi horor apabila di tengah malam
kebelet mau buang air besar, apalagi apabila hujan, jalanan licin,
gelap, dan sangat sepi. Di rumah Lik Yasir juga tidak berlangganan
listrik sehingga untuk penerangan digunakan lampu teplok,
lumayan dari pada di desa masih menggunakan senthir.
Pekerjaan Lik Yasir adalah pengrajin sepatu, sedang bulik, bulik
Boinem, jualan alat peralatan dapur, di pasar Beringharjo. Mereka
tidak memiliki anak sehingga kehadiranku diterima dengan tangan
terbuka. Beban bapak menjadi tidak terlalu berat. Tempat tinggal
dan makanku ditanggung oleh Lik Yasir. Bapak hanya
menanggung biaya untuk kebutuhan sekolah. Sebagai
konsekuensinya aku harus tahu diri, membantu pekerjaan rumah,
dan sesekali membantu bulik jualan dipasar atau mengantarkan
hasil pekerjaan paman ke toko sepatu “Nam Hien” di jalan
Malioboro.

