Page 60 - Kisah perjalanan SUPARDI 2901-1-123
P. 60
Di pagi hari pekerjaanku mengisi padasan, tempat air untuk
berwudhu, dan genthong, tempat air untuk keperluan memasak.
Aku mengambil air dari sumur tetangga. Di sore hari menyapu
lantai dan halaman. Halaman rumah paman cukup luas karena
merupakan jalan kampung dan menjadi tempat jualan gorengan
Lik Kamirah, tetangga belakang rumah.
Sekali-sekali aku ditugasi untuk memasak nasi atau ngliwet.
Alhamdulillah di rumah sudah ada kompor minyak. Untuk lauk,
bulik yang menyiapkan sayur, aku tinggal memanaskan, atau
menunggu lauk yang dibawa bulik dari pasar. Belum ada rice
cooker. Biasanya aku membiarkan nasi menjadi agak gosong
sehingga menghasilkan intip.
Pak dan bulik Yasir, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih
atas segala budi baik dan bimbinganmu selama aku bersama kalian.
Aku belum sempat membalas kebaikan kalian karena Allah lebih
dulu memanggil kalian sebelum aku hidup stabil. Aku doakan
semoga Allah mengampuni segala dosa dan menempatkan kalian
ditempat yang mulia di sisi-Nya. Amin.
Bulan-bulan awal aku masih menyesuaikan diri dengan kehidupan,
baik di rumah paman, di sekolah, maupun di lingkungan.
Yogyakarta adalah kota besar, yang sudah sangat ramai pada
waktu itu. Namun, tidak lagi seperti waktu di Wonosari, kini aku
sudah tidak merasakan ketidakrelaan meninggalkan desa, juga
simbok. Aku sudah beranjak remaja serta sudah harus berani
meninggalkan kampung halaman demi menggapai cita-cita.
Aku pulang ke desa hanya apabila ada libur kuartalan. Perjalanan
pulang ke desa tidak semudah saat ini. Dari Yogyakarta ke
Wonosari aku naik bis yang jadwalnya hanya dua atau tiga kali
sehari, tergantung ketersediaan bis, DAMRI, atau BAKER. Dari
Wonosari ke Ponjong, kalau masih kebagian, naik suburban, satu-
satunya kendaraan yang ada. Biasanya trayek terakhir dari
Wonosari ke Ponjong berangkat jam 4 sore. Apabila sudah
ketinggalan, ya harus jalan kaki. Apabila dari Yogyakarta tidak
kebagian bus, maka kadang aku juga menumpang truk angkutan

