Page 20 - Dr. Abdul Rasyid Ridho, M.A
P. 20
bedampak pada pemahaman Al-Qur’an yang kurang utuh
dan parsial karena belum mencerminkan suatu kesatuan
19
yang utuh dan terpadu. Oleh karena itu, untuk
mengantisipasi terjadinya hal seperti itu, maka muncul
para mufasir seperti Amin al-Khu>li> (w. 1996 M.) dengan
mengembangkan analisis linguistik tersebut dengan
20
disertakan orientasi kontekstual.
Salah satu karya Amin al-Khu>li> yaitu “Mana>hij al-
Tajdi>d” banyak memberikan kontribusi berupa solusi
terhadap pemecahan problem antara filologi dan edifikasi
makna dalam penafsiran. Kemudian teori-teori penafsiran
ini dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Bint al-
Sya>t}i’, Muhammad Ahmad Khalafullah, Nasr Hamid Abu
Zayd dengan menggunakan corak penafsiran yang
21
bermazahab sastrawi (al-tafsi>r al-Adabi>). Hal inilah yang
dilakukan oleh para mufassir dan intelektual muslim untuk
mempertahankan makna kandungan Al-Qur’an supaya
tidak terjadi pengeringan makna dan pemahaman yang
tidak utuh.
Selanjutnya, untuk memperkuat dan
mempertahankan bahwa Al-Qur’an tidak akan mengalami
pengeringan makna dan pemahaman yang tidak utuh, maka
19 M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas,
Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 139.
20 Bint al-Syat}i’, Tafsir Bint al-Syat}i’, terj. Muzakkir Abdusalam, cet.
1, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 30.
21 Amin al-Khu>li> dan Nasr Hami>d Abu> Zayd, Metode Tafsir Sastra , terj.
Khoiron Nahdiyyin, Cet. 1, Yogyakarta: Adab Press, 2004, hlm.
6.
6