Page 177 - hujan
P. 177
Lail dan Maryam menatap sedih anak-anak di ruang makan. Isi mangkuk
mereka sedikit sekali, hanya air kaldu dan potongan kecil kentang atau jagung.
Tidak ada sayur, apalagi daging. Di asrama sekolah keperawatan situasinya
masih lebih baik, Lail dan Maryam masih mendapat makan yang cukup.
” Bagaimana sekolah kalian?” Ibu Suri berusaha mengalihkan percakapan,
tersenyum.
” Baik, Bu,” Maryam menjawab pelan.
” Nilai kalian bagus?”
Lail dan Maryam mengangguk.
” Itu kabar baik. Meski sebenarnya susah membayangkan kalian berdua yang
dulu suka melanggar peraturan ternyata bisa serius sekolah.” Ibu Suri mencoba
bergurau, mendongak. Lail dan Maryam hampir dua puluh tahun, sudah lebih
tinggi darinya.
Salju turun semakin tebal. Tebalnya sekarang sudah lima puluh sentimeter.
Setiap hari ratusan mesin disebar ke seluruh kota untuk membersihkan jalanan.
Tidak ada lagi jadwal ke toko kue. Seluruh toko di jalan kuliner tutup.
Entahlah apa kabar ibu Esok, semoga dia baik-baik saja. Lail dan Maryam lebih
sering menghabiskan waktu di asrama. Tidak ada yang tertarik jalan-jalan di luar
dengan salju di mana-mana. Kecuali jika ada pekerjaan atau pelatihan di
Organisasi Relawan. Organisasi itu membutuhkan banyak orang sekarang.
Beberapa tempat yang sebelumnya masuk kategori Sektor 6 (mandiri) sekarang
turun menjadi Sektor 3-5 (perlu bantu an), apalagi yang sebelumnya Sektor 1-2,
kota-kota ini lebih dulu tumbang. Lail dan Maryam tidak bisa ikut ditugas kan,
mereka sekolah, hanya bisa membantu dari markas—apa pun yang bisa
dikerjakan di sana.
” Kondisi kita akan jauh lebih baik jika negara-negara subtropis yang situasinya
sudah pulih bersedia mengirimkan puluh an kapal berisi bahan pangan,” salah
satu relawan senior berkomentar dalam brie;ng di markas.
” Itu benar. Selama tiga tahun saat mereka dilanda musim dingin ekstrem, kota
ini mengirimkan ribuan kapal bantuan. Sekarang? Mereka memilih diam, hanya