Page 173 - hujan
P. 173

” Eh,   maaf.”   Maryam   nyengir   lebar.   ” Baiklah.   Aku   akan   ke   tenda   komando

                sekarang.”

                  Maryam     melangkah     keluar   sambil   menggerutu,     ” Nasib.   Aku   terusir   dari
                kesenangan  membaca  di  atas  kasur  hangatku  gara-gara  mereka  berdua  hendak

                bicara lewat telepon.”

                  ”Apa kabar, Lail?” Esok bertanya setelah Maryam pergi.
                  ” Baik. Kamu apa kabar?”

                  ”Seperti yang kamu lihat.” Esok tersenyum.

                  Wajah  Esok  terlihat  sangat  lelah.  Kelopak  matanya  meng hitam  seperti  kurang
                tidur.  R ambutnya  panjang  hingga  ke  bahu,  acak-acakan.  Entah  kapan  terakhir

                kali   Esok   merapikan     rambut nya.    Di   bela kang   Esok   terlihat   mesin-mesin

                berukuran  raksasa.  Juga  belalai  robot  yang  bekerja.  Hilir-mudik  menyusun  se-
                suatu.

                  ”Aku  benar-benar  minta  maaf  tidak  bisa  pulang  liburan  ini,  Lail...  Aku  tidak

                bisa menemanimu ke lubang tangga darurat kereta bawah tanah.”
                  Lail mengangguk, tidak masalah. Dia tahu Esok sibuk.

                  ” Bagaimana  kondisi  lokasi  pengungsian  di  sana?”  Esok  ber tanya.  Dia  bisa  tahu

                posisi Lail lewat layar tabletnya, Sektor 1.
                  ” Buruk.” Lail menggeleng sambil merapikan rambut.

                  Lima  menit  dihabiskan  membicarakan  tentang  Sektor  1,  ten tang  kondisi  anak-

                anak  yang  Lail  rawat.  Kemudian  dilanjutkan  dengan  sekolah  keperawatan,  ibu

                Esok  dan  toko  kue,  apa  pun  yang  melintas.  Itu  percakapan  yang  menyenangkan,
                tiga  puluh  menit  berlalu  tanpa  terasa.  Mereka  berdua  saling  tertawa,  ber gurau,

                hingga tiba-tiba sinyal hilang.
                  Gambar Esok di layar tablet Lail hilang, juga suara tawanya.

                  Lail   berseru   panik,   berlarian   membawa     tabletnya   keluar   tenda,   berusaha

                mencari sinyal.

                  Tetap tidak ada sinyal.
                  Lail berlari ke tempat yang lebih tinggi. Juga tidak ada. Ke mudian dia berlari ke

                tenda komando—di sana ada tiang pe nguat sinyal. Harapan ter akhir.
   168   169   170   171   172   173   174   175   176   177   178