Page 169 - hujan
P. 169
Bus kota dihentikan oleh sopir.
” Jika kalian terus membuat keributan di dalam bus, kalian ter paksa aku
turunkan!” sopir bus berkata tegas.
***
Apakah Lail jatuh cinta pada Esok?
Usianya saat itu sembilan belas tahun. Esok dua puluh satu.
Lail bukan lagi remaja, pun telah lama beranjak dari masa kanak-kanak. Lail
sudah tumbuh menjadi gadis dewasa, mandiri, dan serius mengejar cita-citanya
menjadi perawat sekaligus rela wan. Itu juga pertanyaan yang sering hinggap di
kepala Lail saat malam-malam sendirian, ketika Maryam sudah lelap di ranjang
seberang. Lail mulai bisa mendeJnisikan apa yang terjadi di hatinya.
Apakah dia mencintai Esok?
Kenapa dia selalu ingin bertemu Esok, tapi saat ber samaan dia takut
meneleponnya? Kapan pun dia bisa meng gunakan tablet miliknya menelepon
Esok. Atau menggunakan meja kan tin sekalipun, itu bisa berubah menjadi
telepon, video conference, wajah Esok akan muncul di meja. Tapi dia tetap tidak
berani melakukannya.
Kenapa dia selalu merasa bahagia memikirkan Esok, tapi kemudian merasa
sedih? Kenapa dia ingin mengusir semua pikir an ini, tapi saat bersamaan dia
tersenyum mengenangnya? Apa yang dia harapkan dari Esok? Bukankah dia
bukan siapa-siapa Esok, hanya anak kecil yang dulu pernah diselamatkan.
Lihatlah, Esok sekarang sudah bukan yang dulu. Sebutkan nama Soke Bahtera,
seluruh kota tahu. Bagaimana mungkin Lail akan ber harap kepada seseorang
yang jauh sekali bagai purnama?
Lail mengembuskan napas, menatap langit-langit kamar. Di luar salju kembali
turun. Apalagi Lail sekarang ikut memikirkan kalimat Maryam soal Claudia.
Dia ingin mengusir pikiran buruk itu. Esok menyukai Claudia? Apa hak dia
keberatan jika Esok ternyata menyukai Claudia? Lagi pula, dari sisi mana pun,
Claudia jauh lebih pantas dibanding dirinya. Lail sebal setiap kali pikiran itu
melintas. Dia tidak bisa ber prasangka buruk pada keluarga Wali Kota yang