Page 167 - hujan
P. 167

bergerak  gesit  ke  sana  kemari,  memastikan  adonan  berikutnya  yang  disiapkan

                Lail  pas,  pindah  lagi  memeriksa  apakah  lapisan  berikutnya  yang  di buat  Maryam

                tersambung rapi.
                  Kue  itu  baru  jadi  sore  hari,  terlihat  menawan  dengan  aroma  lezat.  Ibu  Esok

                tersenyum bahagia melihatnya.

                  ” Indah sekali.”
                  Lail dan Maryam mengangguk.

                  Maryam beranjak mencuci tangan  di wastafel.

                  ”Apa kabar Esok di Ibu Kota, Bu?” Lail bertanya dengan suara pelan.
                  ” Baik.”

                  ”Apakah Esok akan pulang liburan  panjang bulan depan, Bu?”

                  Ibu   Esok   menggeleng.    ” Esok   tidak   pulang,   Lail.   Dia   sedang   me nyelesaikan
                proyek    mesinnya.   Entahlah,    Ibu   tidak   tahu   nama nya.   Sibuk   sekali.   Mereka

                seperti mengejar target waktu.”

                  Lail terdiam, menunduk.
                  ” Ibu minta maaf, Lail. Kamu harus mendengar kabar itu.”

                  Lail  menggeleng,  mencoba  tersenyum.  Itu  bukan  salah  siapa-siapa.  Lagi  pula,

                Esok  juga  bukan  siapa-siapanya.  Seharusnya  yang  paling  sedih  jika  Esok  tidak
                pulang adalah ibunya.

                  Lail tidak bertanya lagi hingga Maryam kembali dari wasta fel.

                  Mereka berdua berpamitan pulang, membawa separuh kue lapis.

                  ” Kalian  tidak  perlu  lagi  datang  kemari  bulan  depan,  Lail,  Maryam.”  Ibu  Esok
                mengantar hingga ke pintu, suara lonceng terdengar lembut.

                  ” Eh, kenapa, Bu?” Maryam tidak mengerti.
                  ” Besok   toko   ini   ditutup.   Ibu   tidak   punya   lagi   bahan-bahan   untuk   membuat

                kue.”  Wajah  ibu  Esok  terlihat  lesu.  Kesenangan  sepanjang  hari  menguap  dengan

                cepat.

                  Lail dan Maryam saling tatap. Itu kabar yang menyedihkan. Toko-toko di jalan
                kuliner itu juga telah tutup separuh lebih, kesulitan bahan makanan.

                  Ibu   Esok   mendongak,     menatap     langit   mendung.    ”Semoga    paceklik   bahan
   162   163   164   165   166   167   168   169   170   171   172