Page 171 - hujan
P. 171
Tidak ada yang tumbuh di atasnya, apalagi hewan ternak. Kondisi penduduk
kota buruk. Kelaparan, wabah penyakit, sudah bertahun-tahun me reka bertahan
hidup dengan sumber daya seadanya. Pen duduk berlarian, berebut di sekitar
truk militer yang mem bagikan makanan. Bahan pangan sangat langka, bahkan
untuk kota di Sektor 6 sekalipun.
Setelah brie;ng, Lail dan Maryam menuju rumah sakit da rurat, memulai hari
pertama penugasan, menatap anak-anak yang kurus kering kurang gizi dan
orang tua jompo yang tinggal tulang. Mereka sudah dua kali mengunjungi lokasi
pengungsian, tapi yang satu ini sangat mengenaskan.
Hari pertama, sore, Lail terhuyung menuju ujung lorong ru mah sakit,
menangis di sana.
Maryam menyusulnya.
” Kamu baik-baik saja, Lail?”
Lail menggeleng. Terisak. Bagaimana dia akan baik-baik saja, salah satu pasien
yang sedang dia rawat, anak laki-laki usia enam tahun, meninggal di
hadapannya. Lail sudah berusaha semampu mungkin menolongnya, melakukan
semua prosedur gawat da rurat. Anak itu menderita paru-paru basah. Tubuhnya
kurus ke ring. Anak itu menatap Lail terakhir kali sebelum pergi selama-
lamanya.
Maryam mendekap bahu teman sekamarnya.
” Kamu gadis terkuat yang pernah aku kenal, Lail,” Maryam berbisik,
menghibur.
Lail menyeka pipi, berusaha mengendalikan emosi. Tanpa salju turun, Sektor 1
sudah mengenaskan, apalagi dengan salju se tahun terakhir. Penduduk kota itu
tinggal enam ribu orang, turun drastis dari titik tertingginya satu juta penduduk
sebelum bencana gunung meletus.
Butuh waktu seminggu hingga akhirnya Lail terbiasa. Maryam membantunya,
menghiburnya setiap kembali ke tenda. Meyakin kan bahwa mereka telah
berusaha sebaik mung kin, tapi tidak bisa menyelamatkan semua orang.
Setelah satu minggu, hari-hari berjalan seperti biasa. Mereka bangun pagi-