Page 172 - hujan
P. 172

pagi,   bekerja   sepanjang   hari   di   rumah   sakit   darurat,   kembali   ke   tenda   pukul

                delapan  malam,  langsung  merebahkan  diri  di  atas  kasur.  Tertidur  lelap,  tanpa

                sempat memikirkan apa pun. Itu kesibukan yang dibutuhkan oleh Lail.
                  Hari keempat belas, Lail kembali ke tenda dengan riang. Salah satu pasien yang

                dia   rawat,   anak   perempuan    usia   sebelas   tahun   sembuh.   Menatap     anak   itu

                tersenyum,  sudah  bisa  pulang  ke  tendanya,  membuat  Lail  sangat  bahagia.  Lupa
                bahwa se lama di sana sudah dua anak yang meninggal di rumah sakit.

                  ” Kamu kenapa, Lail? Terus tersenyum?” Maryam bertanya di tenda.

                  Hari   ini   Maryam   tidak   bertugas   di   rumah   sakit   darurat.   Dia   berkeliling   ke
                sudut-sudut     kota,   melakukan    observasi   penduduk      yang   bertahan   hidup    di

                rumah-rumah kayu.

                  ” Tidak  ada  apa-apa.”  Lail  menggeleng,  melepas  jaket  tebal nya—tenda  mereka
                dilengkapi pemanas.

                  Tetapi bukan itu sumber kebahagiaan terbesar Lail malam tersebut. Melainkan

                setengah  jam  kemudian,  saat  Lail  sudah  me rebahkan  diri  di  kasur,  bersiap  tidur.
                Tablet miliknya ber getar pelan.

                  Panggilan    telepon.    Lail   malas   meraihnya.     Mungkin      teman    di   sekolah

                keperawatan     yang   menelepon,    atau   penghuni    panti   sosial   yang   masih   sering
                menghubunginya.       Lail   enggan   menerima   tele pon   selama   di   Sektor   1,   jaringan

                buruk    sekali.   Telepon   sering   ter putus.   Sudah   berkali-kali   dia   memberitahu

                teman-temannya agar cukup mengirimkan pesan.

                  Lail malas-malasan mengetuk layar tablet. Dia lalu terdiam. Mematung.
                  ” Halo, Lail.”

                  Itu Esok. Wajahnya yang tersenyum terlihat di layar tablet.
                  Lail menelan ludah, bergegas memperbaiki posisi duduknya. ” Halo, Esok.”

                  Maryam yang sedang membaca, demi mendengar nama Esok disebut, langsung

                terloncat. Dia melemparkan bukunya, bergegas hendak menguping percakapan.

                  ” Halo,   Maryam,”   Esok    menyapa—rambut         kribo   Maryam    terlihat   di   ujung
                layarnya. Maryam yang berdiri sembunyi-sembunyi menguping dari belakang.

                  Lail menoleh, melotot. ”Apa yang kamu lakukan, Maryam?”
   167   168   169   170   171   172   173   174   175   176   177