Page 166 - hujan
P. 166
bersama Soke Bahtera. Ke ber sama an kalian. Naik sepeda merah. Masuk akal
lagi, bukan?”
Lail berteriak marah, menimpuk Maryam dengan bantal.
Maryam bergegas memasang tameng dengan tangan nya.
***
Lail dan Maryam tiba di toko kue pagi-pagi sekali.
Suara lonceng kecil terdengar lembut saat Lail mendorong pintu toko.
”Selamat pagi, Lail, Maryam,” ibu Esok menyapa.
” Pagi, Bu.” Lail tersenyum. Maryam ikut balas menyapa.
”Apa kabar, Bu?” Lail bertanya.
” Ibu sehat. Tapi toko ini tidak, Lail.” Ibu Esok menggerakkan kursi rodanya,
berdesing tanpa suara. Kursi bergerak mulus di lorong rak-rak.
Dibandingkan sebulan lalu, isi toko berkurang separuhnya. Kue-kue kering
tidak banyak lagi dipajang di rak. Toko terlihat suram.
” Terigu, gandum, gula, semakin sulit diperoleh. Apalagi telur. Mendapatkan
beberapa butir saja sangat sulit.” Ibu Esok meng hela napas. Wajahnya tampak
sedih.
Lail mengangguk. Krisis bahan pangan semakin serius melanda kota mereka.
Toko kue ini adalah segalanya bagi ibu Esok. Wajah murung itu mengingatkan
Lail saat dulu pertama kali bertemu dengannya di tenda pengungsian.
” Tapi setidaknya Ibu masih punya bahan untuk membuat kue hari ini, Lail,
Maryam.” Ibu Esok tersenyum. ” Kalian akan suka. Ibu akan mengajarkan cara
membuat kue yang menarik.”
Lail tahu, itu bukan kue pesanan dari pelanggan. Semakin se dikit penduduk
yang membeli makanan jadi. Mereka lebih suka menyimpan bahan pangan.
Semua orang bersiap meng hadapi situasi paling sulit. Ibu Esok mengorbankan
bahan-bahan terakhir itu agar mereka bisa menghabiskan waktu bersama-sama.
Mereka membuat kue lapis. Maryam terlihat asyik menye lesaikan setiap
lapisan kue. Ada dua puluh, dan semuanya harus dikerjakan secara telaten. Itu
kue yang rumit dan membutuhkan waktu lama. Ibu Esok dengan kursi rodanya