Page 179 - hujan
P. 179
Penduduk menyerbu toko-toko, meng gulingkan bus kota, menghentikan trem,
membakar benda-benda di jalanan. Para pekerja menyatakan mogok massal,
yang diikuti hampir seluruh warga kota. Tuntutan mereka sama: segera inter-
vensi lapisan stratosfer. Kota lumpuh total. Kantor-kantor yang tersisa segera
ditutup saat kerusuhan besar terjadi. Hanya bangunan vital seperti rumah sakit
yang tetap beroperasi, dijaga penuh marinir.
Saat kerusuhan itu, Lail dan Maryam baru pulang dari markas Organisasi
Relawan. Mereka terpaksa turun dari bus kota rute 12, karena sopirnya menolak
melanjutkan perjalan an.
Mereka berjalan kaki delapan kilometer menuju asrama. Itu bukan masalah
serius bagi mereka, terhitung dekat, tapi menatap kota sepanjang perjalanan,
sangat menyedihkan. Satu-dua kali Lail dan Maryam harus berbelok,
mengambil jalan memutar, agar tidak bertemu kerumunan yang sedang
mengamuk. Demonstran bahkan mulai menyerbu rumah-rumah, mencari
makanan yang masih tersisa di dapur, membuat anak-anak kecil menjerit
ketakutan.
Setiba di asrama, mereka baru tahu sekolah juga telah di tutup. Petugas sekolah
ikut melakukan mogok. Teman-teman asrama berkumpul di ruang bersama,
membaca pemberitahuan di papan pengumuman digital. Jika semua petugas
mogok, lantas bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari mereka? Lail dan
Maryam saling tatap. Layar televisi di ruang bersama menyiarkan berita dari
seluruh penjuru negeri. Kerusuhan itu meletus di mana-mana, hampir di semua
kota. Pekerja kantor, layanan publik, pabrik, sepakat mogok total hingga
pemerintah me luncurkan pesawat ulang-alik.
” Kota ini tidak akan bertahan lagi dalam waktu satu-dua hari.” Maryam
merebahkan diri di ranjang.
Lail diam.
”Apa susahnya mereka menyetujui intervensi lapisan stratosfer? Sebelum
seluruh kota dibakar oleh warganya sendiri. Dasar pemimpin keras kepala.”
Maryam terlihat amat kesal.