Page 184 - hujan
P. 184
”Apa yang kemudian terjadi, Lail?” Elijah menatap gadis di hadapannya,
memintanya melanjutkan cerita.
***
Pesawat ulang-alik kembali dari angkasa. Tugas mereka me nyiram langit dengan
anti gas sulfur dioksida sukses. Pilotnya disambut bagai pahlawan. Penduduk
bersorak-sorai saat me nonton televisi.
Intervensi itu awalnya sangat menjanjikan. Dua puluh empat jam setelah
antigas disiramkan di atas sana, besok paginya, saat Lail bangun, halaman
rumput sekolah asrama terlihat. Salju telah mencair, menyisakan gumpalan
putih di sana-sini. Lail mem buka jendela kamar. Udara hangat menerpa wajah,
mem buatnya mematung. Belum pernah dia merasakan udara sehangat itu. Dia
bahkan telah lupa bagaimana rasanya bertahun-tahun lalu, saat berlari-lari
berangkat ke sekolah bersama ibunya.
Maryam ikut berdiri di belakang Lail. Tersenyum lebar.
”Selamat datang di musim semi.” Maryam merentangkan tangan , membiarkan
wajahnya disiram cahaya matahari pagi. R ambut kribonya yang mengembang
besar membuat bayangan lucu di lantai kamar.
Lail tertawa. Maryam benar, ini persis seperti musim semi. Ketika salju telah
mencair, matahari muncul di langit biru—tidak ada lagi gas yang menutupinya,
burung-burung hinggap di pepohonan, berkicau ramai.
Musim dingin secara resmi telah berakhir.
Pagi itu mogok massal dihentikan secara sukarela. Penduduk kembali bekerja.
Bahan pangan masih sulit ditemukan, tapi de ngan matahari cerah, suhu kembali
normal, lapar beberapa minggu ke depan bukan masalah besar. Penduduk kota
ter senyum lebar, saling menyapa, bersalaman di jalanan. Melupakan bahwa
beberapa jam lalu mereka telah merusak separuh kota dalam kerusuhan massal.
Sekolah keperawatan juga dibuka. Lail dan Maryam kembali sibuk belajar.
Kabar baik bertambah-tambah ketika stok bahan pangan lebih cepat tersedia,
tidak harus menunggu pertanian normal. Negara-negara subtropis, dengan
konstelasi politik dunia telah berubah, akhirnya mengirimkan ratusan kapal