Page 185 - hujan
P. 185
mereka ke negara-negara yang masih memerlukan waktu untuk pulih. Marinir
dan relawan membantu mendistribusikan berkarung-karung gandum, jagung,
dan beras ke seluruh negeri. Para pedagang yang selama ini menyimpan bahan
pangan untuk kepentingan sendiri juga melepas dagangannya. Toko-toko bahan
pangan kembali dibuka, juga toko-toko makanan.
Butuh tiga bulan hingga akhirnya lahan pertanian menghasil kan, disusul
peternakan. Dengan pulihnya iklim, kemajuan tekno logi, produktivitas
pertanian tiga bulan pertama itu mengagum kan. Jalur distribusi dari sentra
produksi kembali dibuka, harga bahan pangan yang sebelumnya gila-gilaan
turun drastis, kembali normal.
Persis pada bulan ketiga, Lail dan Maryam kembali mengunjungi toko kue,
menumpang bus kota rute 12, turun di halte terdekat, melintasi jalan kuliner
yang kembali hidup. Toko-toko makanan dibuka penuh. Dapur-dapur
mengepulkan asap. Aroma lezat me nyergap hidung. Pengunjung berlalu-lalang,
juga yang duduk di bangku-bangku teras toko, menyantap sarapan lezat.
Matahari bersinar. Langit terlihat biru sejauh mata memandang.
Lail mendorong pintu toko, suara lonceng terdengar lembut.
Ibu Esok menoleh. ” Lail, Maryam!” Kursi rodanya bergerak lincah di antara
rak kue yang telah penuh.
”Selamat pagi, Bu. Apa kabar?” Lail menyapa.
” Ibu sudah memikirkan kalian sejak seminggu lalu, sejak toko dibuka, kapan
kalian akan datang. Ibu senang sekali. Oh, kamu tadi bertanya apa kabar, orang
tua ini kabarnya baik. Sehat. Apa kabar kalian?”
”Secerah pagi ini, Bu,” Maryam yang menjawab, tertawa.
Dengan stok bahan pangan melimpah, mereka bisa me lanjutkan jadwal
membuat kue. Belajar dari ibu Esok yang sejak usia enam tahun telah fasih
membuat kue tar.
” Bagaimana sekolah kalian?” ibu Esok bertanya. Dia sedang me meriksa adonan
Lail. Satu jam di toko kue, mereka bertiga sudah asyik membuat dua kue
sekaligus.