Page 186 - hujan
P. 186

” Lancar, Bu.”

                  ” Bagus sekali. Bukankah hampir selesai?”

                  ” Baru tingkat dua, Bu. Masih setahun lagi.”
                  ” Kamu sudah mendengar kabar baik, Lail?” Ibu Esok teringat se suatu.

                  ” Kabar baik apa?”

                  ” Esok diwisuda tiga bulan lagi.”
                  Mendengar nama Esok, Maryam langsung merapat lebih dekat.

                  Lail menggeleng. Dia belum mendengar kabar itu.

                  ” Ibu juga baru tahu tadi malam. Esok menelepon. Kamu ti dak ditelepon, Lail?”
                  Lail menelan ludah. Dia tidak diberitahu.

                  Maryam bergumam, ” Bagaimana mereka akan saling tele pon...”

                  Lail segera menyikutnya.
                  ”Anak  itu,  setiap  kali  menelepon  Ibu,  selalu  menanyakan  kabar mu,  Lail.  Tapi

                entah   kenapa   dia   tidak   bertanya   langsung,   m e ne leponmu.   Apa   susahnya   dia

                melakukannya.”      Ibu   Esok   meng angkat     bahu    tidak   paham.   Kursi    rodanya
                bergerak. ”Adonanmu sudah siap, Maryam?”

                  Maryam buru-buru kembali ke adonannya.

                  ” Ini masih mentah, Maryam.” Ibu Esok mencicipi adonan.
                  Mereka kembali asyik membuat kue.

                  Pukul empat sore, Lail dan Maryam meninggalkan toko kue.

                  Lail sudah menduga, Maryam akan nyinyir di atas bus kota.

                  ” Kamu  tahu,  Lail,  tidak  ada  kabar  adalah  kabar,  yaitu  kabar  tidak  ada  kabar.
                Tidak  ada  kepastian  juga  adalah  kepastian,  yaitu  kepastian  tidak  ada  kepastian.”

                Maryam yang duduk di sebelah nya tertawa.
                  Lail menatap sebal, beranjak pindah bangku. Maryam sedang menyindirnya.

                  ” Hidup   ini   juga   memang    tentang   menunggu,    Lail.   Menunggu     kita   untuk

                menyadari:    kapan   kita   akan   berhenti   menunggu.”   Maryam    tidak   berhenti,   dia

                pindah ke sebelah bangku Lail.
                  ” Kamu bisa diam tidak?” Lail melotot.

                  Maryam     mengangkat     bahu.   Dia   hanya   mengutip   kalimat-kalimat    indah   dari
   181   182   183   184   185   186   187   188   189   190   191