Page 189 - hujan
P. 189
kribo Maryam terlihat mengembang lebih besar laksana bola. Juga jerawatnya,
memerah.
” Jangan lihat rambutku, Lail.” Maryam mendelik.
Lail tertawa sejenak. Meski dia sering bertengkar dengan Maryam, atau
Maryam sering menggodanya, dia juga sering tertawa hanya dengan melihat
rambut Maryam. Tidak ada teman yang bisa melakukan hal itu kecuali Maryam.
Yang cukup duduk bersamanya, diam satu sama lain, Lail merasa telah me-
nyelesaikan percakapan panjang. Yang cukup melihatnya, rasa senang muncul
dalam hati.
Seminggu berlalu, ujian itu selesai. Praktis mereka masuk masa liburan.
” Kita tidak punya kegiatan selama sebulan ke depan.” Maryam merebahkan
tubuh di atas kasur, di kamar asrama. ” Petugas di organisasi bilang tidak ada
penugasan. Mereka mengoptimal kan relawan yang telah ada di setiap sektor.”
Lail mengangguk. Dia sudah tahu informasi itu.
” Bagaimana kalau kita liburan panjang, Lail?”
” Ke mana?”
” Ke mana saja kamu mau. Ke pantai misalnya. Ini musim semi, pantai akan
terlihat indah. Pasirnya putih, laut meng hampar. Turis-turis berlalu-lalang.
Siapa tahu kamu berkenalan dengan pemuda tampan dari negeri seberang sana.”
Maryam tertawa dengan idenya.
Lail menggeleng.
”Ayolah, Lail. Sudah saatnya kamu melupakan Soke Bahtera. Masih banyak
pemuda lebih oke dibanding dirinya. Soke Bahtera bukan satu-satunya laki-laki
di dunia. Iya, aku tahu, dia genius sekali, tapi menghabiskan waktu bersama
orang genius? Eeuh, kamu akan makan hati. Mereka lebih sibuk dengan mesin-
mesin canggihnya. Bahkan saat bersama pun, dia tetap sibuk dengan
pekerjaannya.”
Lail menggeleng. Esok tidak seperti itu. Esok selalu seratus persen
memperhatikannya saat mereka bersama-sama. Bahkan ketika Lail sibuk
membuat kue bersama ibu Esok, pemuda itu tetap duduk memperhatikan,