Page 194 - hujan
P. 194
pernah menjadi kota mati juga kembali ramai.
Enam jam perjalanan, mereka tiba di stasiun kereta Ibu Kota, lalu menumpang
taksi menuju hotel. Tidak ada pengemudi di taksi itu. Mereka cukup menuju
antrean, menyodorkan kartu pas ke sensor, sebuah taksi berwarna kuning akan
mendekat, mem buka pintu. Lail dan Maryam memasukkan ransel, lalu masuk
ke dalam taksi, duduk rapi. Mesin pintar di dalam taksi me nyapa ramah,
bertanya tujuan.
Lail menyebut nama hotel mereka.
” Terima kasih. Harap jangan lupa kenakan sabuk pengaman. Kita akan segera
berangkat.”
Taksi itu meluncur mulus di jalanan kota.
Lail dan Maryam menatap gedung-gedung tinggi. Langit ter lihat biru sejauh
mata memandang. Warna biru yang sempurna. Indah sekali.
”Apakah kamu bisa terbang?” Maryam iseng bertanya.
” Maaf, Nona? Bisa diulang pertanyaannya?” Mesin pintar di dalam taksi
menjawab.
”Apakah kamu bisa terbang?”
” Tentu saja, Nona. Semua mobil keluaran terbaru memiliki Jtur itu.”
” Bagus. Aku ingin mobil ini terbang menuju hotel.” Maryam tertawa senang.
”Aku minta maaf, Nona. Protokol keselamatan penumpang melarang taksi
untuk terbang. Kecuali dalam situasi da rurat. Misalnya, penumpang hendak
melahirkan. ”
”Anggap saja darurat! Ayo terbang sekarang.”
”Aku minta maaf, Nona. Aku tidak mendeteksi adanya kon disi darurat.”
” Ini darurat, Mobil! Lihat, aku memegang Lisensi Kelas A Sistem
Transportasi. Aku bisa menyuruhmu terbang,” Maryam memaksa.
”Aku minta maaf, Nona. Apakah Nona hendak melahirkan?”
Lail tertawa terpingkal-pingkal.
Lima belas menit, mobil taksi itu merapat ke hotel tujuan. Maryam turun
sambil menggerutu, membawa tasnya turun. Bahkan mobil otomatis ini saja