Page 197 - hujan
P. 197
ukuran tubuh mereka masing-masing. Data itu dikirim ke sistem jaringan butik
Ibu Kota, mencari gaun yang bisa disewa besok siang. Dua jam kemudian, gaun
itu telah diantarkan petugas hotel.
” Dibanding Claudia, kita tetap kusam, Lail.” Maryam me matut diri cermin.
” Tapi tidak apalah, setidaknya kita tidak mem permalukan diri sendiri dan
terlihat berbeda di sana.”
Lail mengangguk.
Mereka berangkat ke kampus naik taksi. Kali ini Maryam tidak berani
membahas tentang terbang. Dia memilih memper hatikan langit biru tanpa
awan.
Lail terlihat riang sepanjang perjalanan. Ini pertemuannya dengan Esok setelah
dua tahun, karena tahun lalu saat penugas an di Sektor 1 mereka hanya bersua
lewat layar tablet. Dia sudah menunggu momen ini. Dia tidak sabaran melihat
Esok, meski sekaligus cemas dan gugup membayangkan apa reaksi Esok
melihatnya.
***
2
Ruangan 4 x 4 m dengan lantai pualam itu lengang.
Elijah memperhatikan layar tabletnya dengan tatapan tidak mengerti. Sebuah
benang merah bergabung dalam peta saraf pasien di hadapannya. Solid. Sangat
terang. Kenangan yang sangat menyakitkan.
Elijah menatap gadis di atas sofa hijau, yang sekarang terdiam. Ceritanya
terhenti. Gadis itu menunduk menatap lantai pualam, sambil menyeka ujung
mata.
” Bukankah itu wisuda Soke Bahtera, Lail? Bukankah itu se harusnya menjadi
memori yang menyenangkan?” Elijah ber tanya.
Gadis di sofa hijau menggeleng.
” Bukankah kamu sejak berbulan-bulan sebelumnya ingin hadir dalam wisuda
itu? Sudah kamu tunggu-tunggu? Kesempat an bertemu setelah dua tahun Soke
Bahtera tidak pulang.”
Gadis di sofa hijau menggeleng lagi.