Page 200 - hujan
P. 200

Esok  bergabung  dengan  mereka  setelah  acara  selesai,  undang an  masih  ramai  di

                sekitar.

                  ”Selamat,   Esok.   Kamu    membuat     bangga   empat   kakak mu.”   Ibunya   mencium
                dahi Esok.

                  ”Aku   tahu   dia   akan   selalu   membuat   bangga   siapa   pun.”   Wali   Kota   tertawa,

                menepuk pundak Esok.
                  Saat itulah Lail merasakan sesuatu yang baru di hatinya.

                  Perasaan yang berbeda. Yang tidak pernah dia rasakan.

                  Cemburu.
                  Lihatlah, Esok lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga angkatnya.

                Juga   menyapa    teman-teman      sekampusnya.     Dan   yang   membuat     Lail   semakin

                cemburu, Esok lebih sering ber bicara dengan Claudia. Berfoto bersama Claudia.
                Bergurau    de ngan   Claudia.   Tertawa.   Mereka    terlihat   sangat   akrab.   Semen tara

                Lail  lebih  banyak  menghabiskan  waktu  dengan  mendorong  kursi  roda  ibu  Esok,

                berdiri menonton seluruh keceriaan.
                  ”Saatnya   makan    siang.   Ayo,   Lail,   Maryam,   kita   menuju   resto ran,   merayakan

                kelulusan Esok.” Wali Kota melihat layar kecil di pergelangan tangan.

                  Itu seharusnya menjadi makan siang yang menyenangkan. Restoran terbaik Ibu
                Kota, dengan chef tersohor. Keluarga Wali Kota sudah memesan satu meja besar.

                Makanannya      lezat,   pe mandangannya     menakjubkan,     hamparan     taman   Golden

                Ring,  kincir  raksasa,  sungai  jernih,  dan  langit  biru.  Tetapi  bagi  Lail,  dia  sama

                sekali tidak menikmati hidangan.
                  Di   meja   makan,   Claudia    duduk   di   sebelah   Esok,   sedangkan   Lail   jauh   di

                seberangnya.  Sepanjang  makan  siang,  Lail  hanya  me natap  Claudia  yang  banyak
                bicara,   tertawa   akrab   dengan   Esok.   Ini   berbeda   dibandingkan   saat   Lail   naik

                sepeda merah, menge lilingi kota bersama Esok. Seluruh perhatian Esok menjadi

                milik nya.   Sekarang    Lail   merasa   orang   asing   di   meja   itu.   Tidak   ada   yang

                mengajaknya bicara.
                  Cemburu. Ternyata kata itu sangat menyakitkan.

                  ” Kamu baik-baik saja, Lail?” Maryam yang duduk di sebelah nya berbisik.
   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204   205