Page 195 - hujan
P. 195

sama menyebalkannya dengan sopir bus rute 12 di kotanya.

                  Mereka    pun    check- in.   Meski   lebih   kecil,   hotel   yang   mereka   pesan   sama

                canggihnya    dengan    hotel   yang   dulu.   Maryam   punya   pelampiasan    kesalnya   di
                kamar.   Dia   mengubah-ubah      setting   warna   dinding,   tingkat   kecerahan   jendela,

                bahkan  termasuk  meng atur  empuk-kerasnya  kasur  mereka,  memanggil  furnitur

                yang   ditanam   di   dinding   dan   lantai,   kemudian   menyuruhnya   kembali.   Cukup
                dengan perintah suara, semua bisa dikendali kan.

                                                            ***

                Sepanjang hari hingga malam dihabiskan Lail dan Maryam berkeliling Ibu Kota.
                Mereka  mengunjungi  tempat-tempat  yang  direkomendasikan  anting  logam  yang

                dipinjamkan hotel.

                  Makan  siang  di  restoran,  berjalan-jalan  di  tepi  sungai,  me ngunjungi  Museum
                Bencana,    juga   pusat   perbelanjaan   terbesar   Ibu   Kota.   Maryam     benar-benar

                menikmati      liburannya.   Lail   juga   menyukai    jalan-jalan   itu,   meski   sesekali

                memikirkan     Esok.   Apakah    keluarga   Wali   Kota   sudah   tiba?   Apakah   ibu   Esok
                baik-baik  saja  selama  perjalanan?  Bagaimana  reaksi  Esok  saat  bertemu  di  aula

                universitas?   Sesekali   Lail   menghela   napas   gugup.   Bagai mana lah   ini,   dia   rindu

                bertemu Esok, tapi sekaligus takut.
                  Mereka  berdua  sempat  mengunjungi  beberapa  butik,  mencari  gaun  yang  akan

                dipakai besok. Lail menggeleng, harganya sangat mahal.

                  ” Kamu   bisa   meminjam    uangku,   Lail.   Kita   patungan,”   Maryam   menawarkan.

                ”Aku  tidak  perlu  gaun.  Kamu  yang  harus  tampil  cantik  di  depan  Soke  Bahtera.
                Aku hanya dayang-dayang be rambut kribo.”

                  Lail  melotot,  bukan  karena  godaan  Maryam—dia  mulai  ter biasa—tapi  karena
                menghabiskan      uang   sebanyak   itu   demi   se potong   gaun   yang   dipakai   beberapa

                jam.

                  Mereka  berdua  mengakhiri  jalan-jalan  dengan  makan  malam  di  restoran,  kali

                ini   menghadap     sungai.   Maryam     ingin   merasakan     sensasi   makan    di   sana,
                menatap sungai jernih yang membelah Ibu Kota. Langit dipenuhi bintang, bulan

                purnama terlihat terang, tidak ada awan di langit yang menghalangi pemandang-
   190   191   192   193   194   195   196   197   198   199   200