Page 202 - hujan
P. 202
Lail memilih diam.
” Kamu cemburu melihat Claudia begitu dekat dengan Esok, bukan?” Maryam
tanpa basa-basi langsung mengatakan apa yang dia pikirkan.
Lail tetap memilih diam.
”Astaga, Lail! Bagaimana mungkin kamu cemburu melihat Claudia dekat
dengan kakak angkatnya sendiri?”
”Aku tidak cemburu,” kali ini Lail menjawab.
” Kamu bukan pembohong yang baik, Lail. Mulutmu mem bantah, tapi
wajahmu bilang sebaliknya. Matamu menunjukkan segalanya. Kamu cemburu.”
Lail menatap Maryam tajam. ” Ya, aku memang cemburu, lantas kenapa? Aku
hanya dianggap patung di meja makan.”
Maryam menggeleng. ” Kamu salah paham, Lail. Sepanjang makan siang,
sepanjang bertemu setelah wisuda, jelas sekali Esok senang dengan
kehadiranmu. Kamulah yang paling penting.”
” Tapi dia bahkan tidak menyapaku!” Lail berseru ketus. ” Dia bahkan tidak
sekali pun mengajakku bicara.”
Maryam menepuk dahi, tidak percaya melihat Lail tiba-tiba berseru marah.
” Dia memang tidak menyapamu, Lail. Tapi dalam banyak hal, kebersamaan
tidak hanya dari sapa-menyapa. Jika kamu bersedia memperhatikan wajahnya
sekali saja saat melihatmu, saat melirikmu, kamu akan tahu, Esok ingin sekali
bicara banyak denganmu....”
” Tapi kenapa dia tidak bicara?” Lail memotong.
” Karena dia tidak bisa melakukannya,” Maryam menjawab gemas. ”Saat selesai
acara wisuda, bagaimana Esok akan bisa bicara dengamu, ketika teman-
temannya ramai meminta foto ber sama. Saat makan siang, itu acara keluarga,
Lail. Di sana ada keluarga angkat Esok. Wali Kota, istrinya, dan Claudia. Juga
ada ibu Esok. Esok menjadi pusat perhatian, semua orang meng ajaknya bicara.
Tidak mungkin Esok tiba-tiba menyuruh orang lain diam, ‘Sebentar, Pak Wali
Kota, aku hendak bicara dengan Lail.’ Atau memotong percakapan dengan
ibunya. Tidak mungkin. Dan saat dia tidak menyapamu, kenapa kamu tidak me-