Page 207 - hujan
P. 207
***
Itu tahun terakhir Lail dan Maryam di sekolah ke perawat an. Setiba di kota usai
wisuda Esok, mereka segera tenggelam be lajar untuk memperoleh lisensi
perawat.
Jam kuliah mereka lebih panjang, tugas menumpuk, mengejar kelas, mengejar
dosen, termasuk mengejar jadwal praktik di ru mah sakit. Sopir bus kota rute 12
dan 7, yang sering mereka naiki, hafal dengan dua penumpang berseragam
oranye, yang se ring bertengkar, ribut di atas bus, Lail dan Maryam tidak bisa
menghilangkan kebiasaan buruk mereka soal bertengkar itu.
Nilai-nilai sekolah mereka bagus. Semua berjalan lancar.
Sepulang dari Ibu Kota, kegiatan Organisasi Relawan praktis berhenti. Enam
bulan setelah cuaca pulih, hanya tersisa sedikit daerah dengan kategori
membutuhkan bantuan. Relawan lebih banyak menghabiskan waktu di markas,
mengikuti brie;ng, pe latihan dan pelatihan tanpa henti.
”Aku bosan hanya ikut pelatihan.” Maryam yang komplain pertama kali kepada
petugas yang dulu menyeleksinya masuk.
”Sebenarnya jika kamu bersedia, masih banyak kesempatan untuk bertugas di
lapangan, Maryam.”
”Oh ya? Apa?” Maryam semangat.
” Di kolam air mancur, misalnya. Kamu bisa menjadi relawan yang melayani
turis-turis, kamu bisa membantu turis yang tersasar. Di halte-halte, membantu
orang tua naik ke atas bus kota. Atau di sekolah kanak-kanak, mereka butuh
relawan yang men jaga saat mereka menyeberang jalan. Kamu bisa melakukan-
nya.”
Itu hanya gurauan petugas—karena bosan selalu ditanya ten tang penugasan.
Peserta latihan di dalam ruangan tertawa melihat wajah ma sam Maryam.
” Besok kita jadi pergi ke toko kue, Lail?” Maryam menyejajari langkah Lail,
sepulang dari markas Organisasi Relawan.
” Iya.” Lail mengangguk.
Maryam riang mendengar jawaban Lail. Mereka berdiri me nunggu bus kota