Page 211 - hujan
P. 211
dua tahun lebih kalian meninggalkan panti sosial. Sudah setinggi dan sebesar ini,
kalian masih tetap seperti dulu. Anak-anak panti yang tidak pernah berubah.”
Ibu Suri terdiam sejenak, lalu berbicara lagi.
” Ibu hanya bergurau. Itu benar, Ibu memang harus mengantar kan undangan
secara personal. Tapi Ibu juga bisa sekaligus me lihat asrama sekolah ini. Kalian
mau menemani Ibu berke liling?”
Lail dan Maryam mengembuskan napas lega.
Ibu Suri juga tidak pernah berubah.
***
Keesokan paginya, mereka berangkat menuju toko kue.
Ada banyak pesanan yang datang. Setiba di sana, mereka mengerjakan enam
kue tar sekaligus. Ibu Esok bergerak lincah di atas kursi roda, mengelilingi meja
di tengah dapur. Memeriksa adonan, suhu oven, hiasan kue, dia bergerak ke sana
kemari seolah tidak memakai kursi roda. Lail dan Maryam ikut sibuk, menyeka
peluh di dahi. Udara di dapur terasa panas.
Toko kue milik ibu Esok mungkin satu-satunya toko kue yang masih
menggunakan cara manual membuat kue di seluruh kota. Termasuk oven dan
peralatannya masih manual. Di toko lain, atau di rumah-rumah, membuat kue
semudah mencetak se lembar kertas. Masukkan resepnya ke dalam layar tablet,
tambah-kurangi sesuai selera. Jika ingin lebih manis, tambahkan gula, ganti
angkanya di layar tablet. Atau tinggal pilih auto. Ke mudian tekan tombol oke.
Melalui sistem nirkabel, resep itu masuk ke dalam mesin pembuat kue. Mesin
otomatis mengambil bahan dari kulkas sesuai yang telah dituliskan dalam resep,
mem buat adonan, mengatur suhu oven dan sebagainya. Tunggu bebe rapa saat,
saat suara denting pelan terdengar, kue yang diingin kan telah jadi.
” Mesin itu mungkin bisa membuat kue lebih cepat dan prak tis. Tapi mesin itu
tidak akan pernah bisa membuat kue lebih lezat.” Ibu Esok menggeleng saat
Maryam memberitahukan soal teknologi itu dulu.
Lail dan Maryam mengangguk. Lagi pula, di mana asyiknya membuat kue jika
persis seperti mencetak dokumen? Mungkin bagian menyebalkan cara manual