Page 216 - hujan
P. 216
” Iya, kamu benar. Risiko paling buruk dengan hilangnya hujan adalah kita akan
lupa seperti apa itu hujan. Tidak masalah, toh aku juga tidak suka hujan.”
Sebagian penumpang bus tertawa.
Lail menghela napas perlahan. Bus kota rute 12 sudah tiba di depan panti
sosial. Maryam di sebelahnya sudah beranjak ber diri. Melangkah turun.
Bagaimana jika hujan benar-benar tidak pernah turun lagi? Lail sangat
menyukai hujan, mendongak, menatap butir air yang menerpa wajah.
” Hai, Lail, kemari!” Suara istri Wali Kota yang berseru tidak jauh dari mereka
memutus lamunan Lail.
Halaman panti sosial terlihat ramai. Ada banyak donatur yang hadir. Hiasan
lampu bekerlap-kerlip, beberapa kamera terbang di atas kepala, membuat
suasana malam terasa menyenangkan. Ada panggung besar di halaman dengan
puluhan meja bundar dikelilingi kursi. Acara makan malam itu diadakan di
halaman terbuka, pesta kebun. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hujan atau
salju akan turun tiba-tiba. Langit bersih dari awan.
Lail dan Maryam mendekat. Keluarga Wali Kota sedang ber bicara dengan Ibu
Suri.
” Halo, Lail, Maryam.” Suara berat Wali Kota menyapa.
Lail dan Maryam menyalami Wali Kota.
Ini pertemuan pertama sejak wisuda Esok di Ibu Kota. Sedikit-banyak Lail
berhasil melupakan kejadian itu, tentang rasa cemburu tanpa alasan. Lail bisa
memeluk hangat Claudia.
” Kamu juga ternyata ikut hadir, Lail. Sungguh kejutan yang me nyenangkan.
Apakah anak-anak lainnya yang telah pindah dari panti juga turut diundang?”
Istri Wali Kota memegang lembut lengan Lail, menoleh ke Ibu Suri.
Ibu Suri menggeleng. ” Mereka berdua diundang sebagai donatur panti.”
”Oh ya?”
” Mereka menyumbangkan seluruh uang penghargaan dari Organisasi
Relawan.”
”Sungguh? Itu bagus sekali,” istri Wali Kota berseru.