Page 212 - hujan
P. 212
adalah setelah selesai masak, ada banyak peralatan yang harus dicuci, tapi itu
bukan masalah serius. Lail dan Maryam punya pengalaman banyak soal me-
nyikat pantat panci.
Menjelang sore, empat kue itu selesai. Maryam melangkah ke wastafel, melepas
celemek, hendak mencuci tangan.
”Apa kabar Esok, Bu?” Lail bertanya pelan.
” Baik. Seminggu lalu dia menelepon, kabarnya baik.” Ibu Esok tersenyum.
”Apakah Esok pernah memberitahu Ibu apa sebenarnya pe kerjaannya di sana?”
” Pekerjaan apa, Lail?” Ibu Esok tidak mengerti.
”Sesuatu. Entahlah. Aku juga tidak tahu persis. Apakah Esok pernah bilang
lewat telepon?”
Ibu Esok menggeleng.
” Esok hanya bercerita dia membantu di laboratorium uni versitas. Hanya itu.”
”Atau mungkin dia pernah bilang ke Wali Kota, istri Wali Kota, atau ke
Claudia. Dan mereka pernah membicarakannya di rumah?” Lail bertanya lagi,
kini dengan intonasi hati-hati. Dia tidak mau ibu Esok jadi salah paham.
Ibu Esok terlihat berpikir, mengingat, lantas menggeleng. ” Tidak ada, Nak.
Esok tidak pernah bilang apa pun tentang pekerjaannya. Ibu pikir itu hanya
riset, penelitian, atau sejenis itulah. Dia suka sekali melakukan hal itu.
Menghabiskan waktu berjam-jam, hingga lupa segalanya.”
Lail mengangguk. Jika demikian, ibu Esok juga tidak tahu apa yang
disembunyikan anaknya. Mungki n Wali Kota tahu, dan dia tidak pernah
membahasnya di rumah.
Maryam kembali ke meja dari wastafel.
Lail segera mengalihkan percakapan.
Mereka pulang persis pukul empat, diantar ibu Esok hingga depan pintu toko.
Kedua gadis itu berjalan kaki menuju halte terdekat.
Langit senja terlihat bersih. Tanpa awan.
***
Enam bulan terakhir, saat Lail terus bertanya-tanya banyak hal tentang Esok,