Page 217 - hujan
P. 217
Lail dan Maryam saling lirik.
” Bagaimana sekolah kalian?” istri Wali Kota bertanya.
Mereka sempat bercakap-cakap sebentar soal sekolah, hingga Ibu Suri
mengangguk pada mereka. ”Acaranya akan segera dimulai. Mari, silakan duduk.
Saya harus ke belakang pang gung.”
Lail dan Maryam duduk satu meja dengan keluarga Wali Kota. R atusan
undangan lain juga sudah duduk di bangku masing-masing.
”Aku suka melihat gaun yang kamu kenakan, Lail,” Claudia ber bisik, memuji.
”Aku juga suka. Kamu beli di mana ?” Istri Wali Kota ikut ber bisik.
Di atas panggung acara telah dimulai dengan sambutan-sambutan. Ibu Suri
yang pertama kali bicara, menyampaikan ucapan terima kasih kepada donatur
yang telah membantu masa-masa sulit saat salju setebal lima puluh sentimeter
me nyelimuti kota.
” Eh, aku menyewanya dari salah satu layanan hotel,” Lail men jawab jujur.
Belajar dari pengalaman di hotel Ibu Kota, mereka tahu bagaimana cara mencari
gaun lebih murah.
”Oh ya? Kamu pandai memilihnya, Lail. Terlihat serasi de ngan warna
matamu.”
Maryam yang duduk di sebelahnya menendang kaki Lail di bawah meja. Kamu
seharusnya tidak perlu sejujur itu. Demikian maksud tatapan Maryam.
Acara jamuan makan malam berjalan lancar. Setelah banyak kata sambutan,
nampan berisi makanan segera dikirim ke atas meja, juga baki-baki minuman.
Undangan mulai menikmati makan malam sambil ditemani pertunjukan dari
anak-anak panti sosial di atas panggung.
Ada yang menampilkan tari-tarian, ada yang memainkan alat musik, dan ada
yang bernyanyi. Undangan ramai bertepuk tangan setiap kali penampilan selesai.
Pembawa acara di depan menjelaskan bahwa seluruh panggung, hiasan taman,
bunga-bunga di atas meja, juga masakan yang dihidangkan adalah karya anak-
anak panti. Undang an sekali lagi bertepuk tangan. Sebagai puncaknya, pem bawa
acara mengumumkan, belasan anak-anak panti akan mem bawakan sebuah