Page 96 - ISYARAT DAN PERHATIAN_FISIKA (IBN SINA)_CETAK
P. 96

yang meyakinkan. Sementara “burhan” yang bertolak dari akibat ke
          sebab tidak meyakinkan. Jika bertolak dari akibat ke sebab, orang
          dapat mengetahui sebab tapi kabur dan tidak jelas. Kekaburan yang
          muncul diakibatkan oleh batasan term material (baik bahasa mau-
          pun wujud ekstra mental sendiri) atas sebab. Tapi jika orang men-
          genal sebab, ia akan mengetahui akibat. Sampai di sini masalah lain
          muncul sehubungan dengan “bagaimana cara orang mengenal se-
          bab” tanpa akibat?
                 Ada  dua  ambivalen  dalam  “burhan”,  pertama  karena
          pendekatan  deduksi  membawa  pemahaman  manusia  secara  on-
          tologis  dari  sebab  ke  akibat.  Fundamen  ini  berarti:  sebab  dapat
          menjadi sebab kesadaran atas akibat. Misalnya, kesadaran akan api
          adalah  sebab  kesadaran  akan  akibatnya,  yakni  asap,  atau  panas.
          Kedua dalam induktif kesadaran digiring pada ranah epistemologis
          di mana akibat dapat menjadi sebab kesadaran atas sebab sendiri.
          Misal, asap adalah sebab atas kesadaran kehadiran api. Dari kedua
          kecenderungan ini para filsuf alam menggunakan “burhan” dari se-
          bab ke akibat sebagai postulat. Artinya memilih salah satu dari dua
          kecenderungan logika pembuktian ini sama artinya menafikan ke-
          mungkinan penarikan simpulan yang dimungkinkan dari keduanya.
                 Dari dua kecenderungan “burhan”, memilih salah satunya
          berarti  menegasi  yang  lain.  Tepat  di  sinilah  masalah  pembuktian
          dari sisi “burhan” yang diajukan para filsuf dirasa kurang memadai.
          Pada akhirnya kita akan kembali pada pertanyaan mengenai objek.
          Jika objek filsafat adalah al-maujud bima huwa al-wujud (eksisten
          sebagai  yang  ada)  maka  pertanyaannya  adalah:  apakah  kita  bisa
          menggunakan “burhan” kepada yang ada (wujud) ini? Jawabann-
          ya tentu saja tergantung wujud ini masuk ke dalam kategori mana.
          Jika masuk pada kategori matematis ke bawah, hingga fisika, maka
          implikasinya adalah kecenderungan penerapan “burhan” deduktif.
          Sementarara jika yang dimaksud keberadaan di sini adalah bersifat
          ontologis (kausalitas), atau “eksisten sebagai yang ada” pada dirinya
          sendiri, sebagai objek filsafat teoritis, maka “burhan” deduksi tak
          akan memadai. Ibn Sina, dalam Isyarat menegaskan bahwa tidak
          ada “burhan” yang dapat membuktikan Tuhan—sejauh wujud pada
          akhirnya berujung pada wujud niscaya.
                 Jika Tuhan dimasukkan ke dalam operasi “burhan”, maka
          Tuhan, sebagai wujud niscaya (wajib al-wujud) akan menuntut ke-

          96 | IBN SINA
   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101