Page 97 - ISYARAT DAN PERHATIAN_FISIKA (IBN SINA)_CETAK
P. 97

butuhan untuk bertolak dari sesuatu yang lain. Padahal, sebagai wu-
               jud niscaya, seluruh potensi kualitas inhern dan dengan demikian
               menjadi absurd kebutuhan akan sesuatu selain dirinya sendiri. Na-
               mun, akal dengan kerja nalarnya bekerja dengan hubungan sebab
               ke akibat. Bila tuntutan nalar ini dipenuhi dan kita menggunakan
               “yang lain” sebagai premis untuk membuktikan keberadaan Tuhan,
               pertanyaan kemudian ialah “yang lain” dalam konteks ini apa? Apa-
               kah ia merupakan sebab, atau ia adalah akibat? Bertolak dari wa-
               jibul wujud, unsur “yang lain” tadi mustilah akibat. Hal ini, bila terus
               dioperasikan maka “yang lain” adalah akibat dan alurnya menjadi
               akibat ke sebab, dan penalaran “burhan” ini tidak meyakinkan.
                       Sementara jika kita menggunakan penalaran sebab ke aki-
               bat, maka “yang lain” musti didudukkan sebagai sebab pada wajibul
               wujud, padahal ini mustahil. Artinya, tidak ada “burhan”. Solusinya
               terletak pada urutan hierarki realitas: bahwa ada perbedaan antara
               “realitas” yang ada di dalam pikiran (konsepsi) dan realitas di luar
               pikiran (wujud ekstra mental/wujud khariji).
                       Para filsuf—termasuk Ibn Sina pada fase awal—membagi
               sebab akibat berdasarkan wujud ekstra mental (realitas eksternal)
               daripada wujud yang ada dalam pikiran. Padahal di dalam pikiran,
               apa pun yang bertindak sebagai “premis” dia adalah sebab. Di da-
               lam pikiran tidak ada burhan yang bertolak dari akibat ke sebab,
               melainkan semuanya dari sebab ke akibat. “Burhan” ini meyakinkan.
                       Jadi, ada kekeliruan operasi antara “burhan” dalam realitas
               eksternal (wujud khariji) dengan “burhan” dalam realitas pikiran. Di
               dalam pikiran “burhan” bersifat tunggal. Demikian pula jika kita hen-
               dak menggunakan “burhan” pada wujud (mutlak), berarti “burhan”
               tidak bisa digunakan tanpa dualitas sebab akibat. Wujud mutlak ini
               sedemikian rupa sehingga keberadaannya saat dipikirkan bisa tidak
               tergantung pada pikiran itu sendiri. Jika tidak, maka keberadaann-
               ya terus bergantung pada entitas-entitas lain selain dirinya sendi-
               ri. Artinya wujud mutlak berdiri secara mandiri baik secara mental
               maupun secara ekstra mental. Keberadaannya a priori berdasarkan
               postulat tunggal: realitas.
                       Secara ontologis, bicara mengenai wujud bima huwa wu-
               jud (wujud pada dirinya sendiri) artinya bicara mengenai seluruh
               realitas baik yang teratasi hanya secara mental maupun yang telah



                                        ISYARAT DAN PERHATIAN: FISIKA | 97
   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102