Page 98 - ISYARAT DAN PERHATIAN_FISIKA (IBN SINA)_CETAK
P. 98

terrambah secara ekstra mental—melalui fisika. Seandainya musti
          ada sesuatu selain wujud sebagai realitas (al-haqq) maka kontradik-
          si tidak bisa diterapkan padanya. Sebab sesuatu saat ada, dia ada
          dan tidaak ada yang tidak ada. Bagaimanapun ketiadaan senantiasa
          absurd. Ini seperti pertanyaan: ma dza ba’da al-haqq illa al-dhalal
          yang bersitangkap dengan ma dza ba’dal wujud illa al-adam? Tera-
          khir: taksiran mengenai yang riil pada dirinya sendiri menuntut lebih
          dari sekadar analisa logis. Ia bisa dianalisa sejauh bahasa, namun
          sebagai realitas dibutuhkan perambah epistemologis lain.
                 Sampai di sini kita nyaris memasuki metafisika sebagai ob-
          jek  filsafat  teoretik  sepenuhnya.  Wujud  final  adalah  absolut  dan
          tidak nisbi, tidak ada yang di luar dirinya dan ia adalah segalanya
          sejak segala sesuatu menempati status ontologisnya sebagai yang
          riil. Saat filsafat mendekati wujud final menggunakan “burhan” ke-
          beradaannya ternegasi sebab “burhan” senantiasa tunduk pada for-
          mula premis sebab akibat. Dalam membahas yang absolut “burhan”
          hanya bisa memilih antara mengakuinya sebagai entitas mutlak atau
          menegasinya. Pendekatan satu sisi ini merupakan khas penalaran
          logis namun bukan berarti tidak bisa ditertibkan. Ia bisa ditertibkan
          dalam duduk kesadaran hierarkis. Artinya, penalaran logika harus
          patuh pada batas dan jangkauannya. Sekalipun demikian bukan be-
          rarti bahwa logika tak lagi bisa digunakan dalam menjangkau yang
          riil. Sejauh yang bermasalah dalam realitas manusia adalah ‘baha-
          sa’, maka perluasan lema yang muncul dari pengalaman manusia
          adalah salah satu kemungkinan meluaskan jangkauan logika pada
          dimensi yang riil (al-haqq). “Burhan” tidak bisa digunakan pada wu-
          jud itu sendiri karena tidak ada lagi dualitas di sini melainkan singu-
          laritas absolut.
                 Dilacak dari proposisi (qadhaya) yang tersusun dari term-
          term (definisi), jelas definisi adalah penakrifan. Dapatkah manusia
          mendefinisikan sesuatu—di luar pengalamannya—sesuatu pada di-
          rinya sendiri? Ibn Sina mengisyaratkan bahwa manusia tidak mema-
          dai untuk mendefinisikan sesuatu secara utuh. Saat hal itu tidak bisa
          dilakukan maka proposisi tidak ada sebagaimana juga dengan pre-
          mis; maka burhan mustahil. Misalnya: al-insan hayawan an-nathiq
          (manusia  adalah  hewan  yang  berpikir).  “Berpikir”  adalah  spesies
          bagi  “manusia”,  sementara  “hewan”  merupakan  genus,  sehingga
          “berpikir” untuk hewan sebenarnya apa? Tidak ada, sebab ia ada-

          98 | IBN SINA
   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103