Page 15 - My FlipBook
P. 15

Dihentikannya mobil kami di pelataran sekolah. Kupandangi bangunan itu dari dalam

               mobil. Aku enggan untuk turun. Aku belum cukup nyali untuk menginjakkan kaki di halaman
               sekolah  ini.  Bukan  tidak  berani  masuk  sekolah  ini,  tapi  lebih  pada  ketakutan  menghadapi

               kenyataan  bahwa  aku  akan  tinggal  di  kota  ini  tanpa  planterku,  suamiku.  Sedih  tiba-tiba
               merasuki dan mencuat ke permukaan. Tak terasa air mata sudah melelh di pipi.

                     ‘Jangan sedih. Ini akan menjadi tempatmu mengabdi. Ayah janji akan sesering mungkin

               datang untuk kalian.’ Ucapnya menguatkanku. Aku hanya mengangguk. Merasakan sesak di
               dada  yang  belum  juga  sirna.  Tak  berselang  lama,  kami  pun  berbalik  arah.  Meninggalkan

               pelataran sekolah menuju rumah tempat tinggal kami.
                     ****

                     Rumah minimalis itu menjadi saksi bisu aku membesarkan anak-anak tanpa planterku

               demi menjalankan tugas. Profesi yang dulu sangat aku harap tapi kini amat sedih aku rasa.
               Hampir di setiap sholat, air mata ini tumpah. Setiap anakku mencium tangan sehabis sholat,

               disekanya air mata yang masih meleleh di pipi oleh tangan mungilnya sambil bertanya:
                     ‘Kenapa Umi menangis?’

                     ‘Tidak apa-apa, Mas, Umi cuma ingat Ayah kalian.’ Jawabku sembari memeluk dua buah
               hatiku yang masih sangat belia.

                     ***

                     Setiap  pagi,  anak  pertamaku  kuantar  ke  sekolah  sembari  aku  berangkat  ke  tempat
               kerjaku. Kebetulan sekolahnya searah dan terlewati olehku. Dan, saat dia pulang, aku akan ijin

               dari sekolah untuk mengantarnya pulang. Baru setelah itu, jika aku masih ada jam mengajar,
               aku akan kembali lagi ke sekolahku untuk mengajar. Begitulah rutinasku setiap hari dari pagi

               hingga sore menjelang.

                     Di saat aku mengajar, anak-anakku diasuh dan dijaga oleh seorang ART- asisten rumah
               tangga, terutama anakku yang kecil karena belum masuk usia sekolah. Dialah orang yang amat

               berjasa membantuku menjalankan aktivitasku/ tugasku selama aku tinggal di kota. Dia juga
               yang menjadi andalanku untuk bisa meringankan bebanku mengurus rumah. Tanpanya, aku

               tidak bisa menjalankan semuanya.

                     ---
                     Hidup  sendiri  tanpa  suami  yang  mendampingi  sangatlah  berat.  Terlebih  saat  malam

               menjelang dan ART ku sudah pulang. (ART ku kerja siang hari saja dan tidak menginap).
               Tinggallah aku dan anak-anakku yang masih kecil menghuni rumah itu. Sepi. Hanya sesekali

               terdengar suara tetangga sebelah atau belakang rumah. Rumah kami dibatasi dinding tinggi
               sebagai pemisah. Selebihnya hanya suara kodok dan binatang malam yang terdengar.
   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20