Page 221 - Gabungan
P. 221
Di bawah sinar bulan pucat, bahkan suara serangga pun tak
terdengar. Semuanya sunyi—tidak ada tangisan sama sekali!
Rupanya ia hanya bermimpi. Su Wenbin merasa agak konyol. Saat
hendak kembali tidur, ia teringat Hana Budiman akan naik kereta
lewat jam lima, jadi harus sudah di stasiun sebelum jam empat. Jika
ia tertidur lagi, bisa terlambat mengantar Hana. Pikiran itu
membuatnya sama sekali tidak mengantuk. Ia duduk di kursi rotan
sambil memandang cahaya bulan seputih salju di koridor, mendengar
sesekali kicau serangga. Ia merenungkan bagaimana nanti siang
akan membuka topik tentang kondisi Yenni. Bagaimana reaksinya?
Su Wenbin membayangkan Yenni menangis sedih, dan khawatir ia
takkan bisa berbuat apa-apa.
Dengan perasaan bimbang, ia berdiri dan berjalan ke bawah atap,
menatap bulan purnama di langit biru tua.
"Tuan Su! Bangun sudah pagi sekali?"
Su Wenbin mengenali suara Hana Budiman yang halus dan
lembut—sangat berbeda dengan sikapnya di siang hari yang cerewet.
Ia berbalik dan melihat Hana mengenakan gaun tidur merah muda
panjang yang menutupi lantai, rambutnya yang ikal terurai di bahu,
matanya yang berkilau, dada yang menonjol—sosoknya bagai patung
Venus dari era Renaisans Italia.
"Aku sedang memikirkan bagaimana nanti memberitahu Yenni..."
221

