Page 217 - Gabungan
P. 217
berkata,
"Begitu mencium baunya, air liur langsung keluar!"
"Dasar rakus! Baru saja makan malam..." canda Yenni.
"Huh, aku sengaja hanya makan setengah kenyang tadi," kata
Hana Budiman sambil menyodorkan durian yang sudah terbuka, "Ini,
silakan, Insinyur besar!"
Hana Budiman mengambil sepotong daging durian lembut dan
memasukkannya ke mulut. Lidahnya dengan gesit memisahkan biji.
"Biji ini kalau dikukus juga enak, lho! Kita orang Nusantara benar-
benar diberkati Tuhan. Tak usah bicara sumber daya alam, buah-
buahan saja sudah beragam. Lihatlah pohon-pohon di pinggir jalan!
Tanah subur, hujan melimpah, cuaca hangat—di mana-mana hijau
segar." Dia menyuap durian lagi, "Tak heran setelah Perang Dunia II,
banyak tentara Jepang tak mau pulang dan memilih jadi warga
Nusantara!"
Yenni tertawa melihat Su Wenbing kesulitan memegang daging
durian yang licin,
"Tuan Su belum terbiasa makan dengan tangan, ya?"
"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Aku harus belajar,"
jawab Su Wenbin.
"Tadi di restoran saat makan ayam goreng, mangkuk kecil berisi
air itu untuk cuci tangan. Setelah itu, pegang ayam, celupkan ke
217

