Page 101 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 101

“Capo akan memelihara kuda!! ”.
                  Tubuh  Jimbron  mendadak  sontak  menjadi  kayu.  Mirip  orang
              disambar petir. Tangannya menggantung persis dirigen, atau seperti robot
              kehabisan baterai. Ia menoleh padaku tapi tubuhnya tak berbalik, hanya
              lehernya  yang  berputar  dengan  ukuran  derajat  yang  tak  masuk  akal.
              Hampir seratus delapan puluh derajat! ia seperti burung hantu..
                  “Ja... ja... ja... jajajaja...
                  “Dia  tak  dapat  melanjutkan  kata-katanya.  Gagap  menerkamnya.
              Tapi aku tahu maksudnya, “jangan kau main-main, Kal!! ”.
                  “Serius, Bron. Kudengar di pasar, semua orang meributkannya!! ”.
                  “Min... Min... , “maksud Jimbron tentu Minar..
                  “Ya, Minar.
                  “Minar, asisten juru rias pengantin, hulu ledak gosip kampung kami.
              Jika ada gosip di Pasar Ikan, pasti dia biangnya..
                  “Ta... ta... ta... ta... ta...
                  “’Tak ada tapi, Bron.
                   “Ber... ber...
                  ““Tujuh ekor!! ”.
                  “Kap... kap... dar... dar...
                  ““Dua minggu lagi, dan percayalah kau, Bron?? Dari Australia!! ”.
                  Jimbron  seperti  orang  yang  mau  pingsan.  Napasnya  cepat,  bola
              matanya mengembang, dan telinganya tegak. Kuambilkan ia air minum.
              Tangannya masih seperti dirigen..
                  Berita  tentang  kuda  itu  segera  hangat  dimana-mana.  Di  warung-
              warung  kopi,  di  balai  desa,  dipasar,  dan  di  kantor-kantor  pemerintah,
              setiap  orang  membicarakannya.  Banyak  komentar,  memang  kegemaran
              orang  Melayu.  Tapi  alasannya  utamanya  adalah  karena  siapa  pun  di
              kampung kami tak pernah melihar seekor kuda hidup-hidup. Bagi kami,
              kuda  adalah  makhluk  asing.  Di  kampung  orang  Melayu  pedalaman  tak
              ada kuda. Jangankan kuda, keledai pun tidak. Zaman dulu orang Melayu
              bepergian  naik  perahu  atau  berjalan  kaki,  Kuda  tak  pernah  secuil  pun
              disinggung  dalam  manuksrip  kuno  Melayu.  Kuda  bukan  merupakan
              bagian dari kebudayaan Melayu..
                  Ribut-ribut  soal  kuda  sebenarnya  bukan  baru  kali  ini.  Sejak  ada
              tanda-tanda Belitong akan bernasib seperti Babylonia karena  PN Timah
              mulai megap-megap, pemerintah  berusaha mencarikan jalan keluar bagi
              orang  Melayu  pedalaman  agar  tidak  berakir  serupa  orang  Etiopia.  Para
              petugas  pertanian  berdatangan  memberi  penyuluhan  tentang  cocok
              tanam dan budi daya. Beberapa mahasiswa Belitong yang tengah kuliah
              di  Jawa  dan  bercita-cita  mulia  membangun  desanya  sehingga  nasib
              penduduk  Belitong  jadi  lebih  baik,  pulang  kampung.  Masyarakat

                                          99
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105   106