Page 103 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 103

dan sustainable di semua bidang!! ”.
                  Tepuk  tangan  riuh  sekali.  Hadirin  berebutan  menunjukkan  jarinya,
              ada yang lima, tujuh, ada pula delapan. Rupanya itulaj jumlah kata yang
              tak mereka  pahami dalam  kalimat mahasiswa-mahasiswa ingusan itu.  A
              Put, sang dukun gigi, tak ragu menunjukkan sepuluh jarinya. Ia  bahkan
              mengangkat  sebelah  kakinya.  Paling  tidak  lima  belas  kata  mempan  di
              kepalanya..
                  Jik ada perlombaan ceramah, aku berani jamin orang Melayu akan
              juara.  Tak  terhitung  banyaknya  dari  mereka  yang  menderita  sakit  gila
              nomor  21:  keranjingan  pidato.  Dan  sampai  di  situ  saja.  Setelah  pidato
              yang  gilang-gemilang  itu  lalu  tak  ada  seorang  pun  melakukan  apapun.
              Sang  Mahasiswa  sibuk  mencari  kata-kata  aneh  baru  untuk  pidato
              berikutnya  dan  para  kuli  tambang  menghabiskan  waktu  berminggu-
              minggu mendebatkan arti setiap kata aneh mereka itu di warung-warung
              kopi.  Kemampuan  berpendapat  ternyata  merupakan  kompetensi  yang
              arahnya sama sekali berbeda dengan kompetensi berbuat sesuatu secara
              nyata.  Capo Lam Nyet  Pho, sebagai seorang  wiraswastawan tulen jelas
              memiliki kompetensi yang terakhir kutuliskan..
                  “Itulah  penyakit kalian, Orang Melayu. Manja  bukan main, banyak
              teori  kiri  kanan,  ada  sedikit  harta,  ada  sedikit  ilmu,  sudah  sibuk
              bersombong-sombong...
                  “Capo  tak  pernah  sekolah.  Adik-adiknyalah  yang setengah mati ia
              sekolahkan. Ia  jungkir  balik membangun  klannya dari nol. Dan  klannya
              itu  terkaya  sekarang  di  kampung  kami.  Ia  kenyang  asam  garam
              pengalaman.  Besar  curigaku  Capo  hanya  bisa  menghitung,  tak  bisa
              membaca. Tak seperti mahasiswa Melayu sok pintar itu, ia berbicara pelan
              saja  sambil  menyedot  cerutunya.  Pilihan  katanya  sederhana,  gampang
              dicerna, tajam memukul sasaran. Setiap ia angkat bicara, para pedagang
              ikan  di  stanplat  melepaskan  apa  pun  yang  sedang  dikerjakan.  Nasihat
              intan berlian sesungguhnya berada di dalam mulut orang seperti Capo..
                  “Lihat  kami,  orang  Kek.  Kami  hidup  dengan  jiwa  perantau.  Aku
              sudah  punya  bioskop  tapi  setiap  malam  masih  menghadapi  lilin  untuk
              membungkus kacang. Kalian orang Melayu mana mau begitu.
                  ““Orang Kek bekerja keras, tak mau bergantug pada apa pun.
                  ““Kalau timah tak laku. kalian orang Melayu mati, kami hidup...
                  “Aku mengagumi daya survival bangsa Tionghoa kek..
                  “Tidakkah  kalian  lihat  di  Belitong?  Terserak  seribu  danau  bekas
              galian  tambang,  terhampar  padang  sabana  seluas  mata  memandang,
              semuanya beribu-ribu hektare, tak bertuan.
                  “Para penyimaknya merenung..
                  “Kuda,  peternakan  kuda  adalah  yang  paling  pas.  Hewan  itu

                                          101
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107   108