Page 108 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 108

“Para  pengunjung  bertepuk  tangan  mendengarnya.  Tepuk  tangan
              tak  berhenti  melihat  tujuh  ekor  makhluk  indah  memesona,  tinggi  besar
              berkilap  berbaris  di  atas  titian  muhibah  negara  asing  Australia  menuju
              dermaga  kampung  orang  Melayu  pedalaman  di  Pulau  Belitong,  Saat
              mereka mendekat dari tubuh mereka aku mencium bau angin, bau hujan,
              bau malam, dan bau kebebasan berlari membelah ilalang di padang luas
              tak  bertepi.  Sinar matahari menyirami delegasi terhormat dari Tasmania
              ini,  mereka  melangkah  anggun  laksana  tujuh  bidadari  turun  dari
              khayangan, Di punggung sang Pangeran sinar matahari memantul seakan
              dirinya sebongkah mutiara. Kuda-kuda itu dinaikkan ke atas truk dan di
              sudut  sana  kulihat  Jimbron  berdiri  tegak  di  atas  tong  aspal.  Dengan
              lengan  bajunya,  ia  berulang  kali  mengusap  air  matanya  yang
              berlinangan..


                                      ***********

              Pangeran  Mustika  Raja  Brana  dan  rombongannya  di  bawah  ke  ranch
              Capo di pinggir kampung.  Pertunjukan spektakuler yang  mungkin  suatu
              hari  nanti  akan  mengubah  cara  hidup  orang  Melayu,  atau  paling  tidak
              mengubah cara mereka berpikir, telah usai. Hari ini tujuh ekor kuda dari
              Tasmania  meretas  jalan  memasuki  budaya  Melayu  pedalaman.  Hari  ini
              seperti  hari  Columbus  menemukan  Amerika.  Tak  pernah  sebelumnya
              seorang  pun  berpikir  untuk memulai usaha dengan mendatangkan kuda
              dari  Australia.  Capo  adalah  seorang  pendobrak,  seorang  yang  patut
              dikalungi  medali.  Possibility,  itulah  mentalitas  Capo:  positif  dan  percaya
              pada  semua  kemungkinan!    Para  pengunjung  berduyun  pulang  dengan
              fantasi dan riuh rendah komentar. Dermaga kembali lengang, yang tersisa
              hanya  seorang  pria  tambun,  dengan  bobot  mati  hampir  80  kilogram,
              berdiri  mematung  seperti  menhir  di  atas  tong  aspal.  Kegilaan  yang
              menggelembung,  meluap-luap,  dan  tersedu  sedan  itu  kini  memandangi
              pita  jingga  yang  bergelombang  mengalun  kaki  langit.  Baru  beberapa
              menit  yang  lalu  Pangeran  Mustika  Raja  Brana  beranjak,  bahkan  bau
              angin,  bau  hujan,  dan  bau  malam  dari  tubuh  pesona  putih  itu  masih
              belum  menguap  dari  dermaga,  tapi  disana,  pada  wajah  berbinar  yang
              basah  oleh  air  mata,  dari  hati  muda  yang  menemukan  kebahagian  tak
              terkira dari seekor  kuda, kulihat  jelas kerinduan yang membuncah  pada
              kuda-kuda  yang  beru  beberapa menit lalu  pergi. Kini  hatinya  yang  lugu
              itu hampa, hampa seperi tong-tong aspal tempatnya berdiri..
                  Dan  seminggu  berikutya,  los  kontrakan  kami  menjadi  kuburan
              euforia  karena  Jimbron  mendadak  lesu  darah.  Jika  sebelum  kuda-kuda

                                          106
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113