Page 98 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 98

semangat  dan  mimpi-  mimpi,  dan  kita  akan  bertempur  habis-habisan
              demi mimpi-mimpi itu!! ”.
                  Aku  tersentak  dan  terpaku  memandangi  ayahku  sampai  jauh,
              bentakan-bentakan Arai berdesingan dalam telingaku, membakar hatiku..
                  ’Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati...
                  “Aku merasa beku, serasa disiram seember air es..
                  “Mungkin  setelah  tamat  SMA  kita  hanya  akan  mendulang  timah
              atau  menjadi  kuli,  tapi  di  sini  Kal,  di  sekolah  ini,  kita  tak  akan  pernah
              mendahului nasib kita!! ”.
                  Mendahului  nasib!  Dua  kata  yang  menjawab  kekeliruanku
              memaknai  arah  hidupku.  Pesimistis  tak  lebih  dari  sikap  takabur
              mendahului nasib..
                  “Kita  lakukan  yang  terbaik  di  sini!!  Dan  kita  akan  berkelana
              menjelajahi Eropa sampai ke Afrika!!  Kita akan sekolah ke Prancis!! Kita
              akan menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne! Apa pun yang
              terjadi!! ”.
                  Arai berteriak. Suaranya lantang memenuhi  lapangan luas sekolah
              kami,  menerobos  ruang-  ruang  gelap  kepicikan  dalam  kepalaku.  Kata-
              Katanya itu seperti sumbu aki yang men- charge baterai dalam tubuhku..
                  Seketika  mataku  terbuka  untuk  melihat  harapan  besar  yang
              tersembunyi di dalam  hati ayahku.  Ayahku  yang selalu diam, ta  pernah
              menuntut  apa  pun.  Aku  bergetar.  Kupandangi  jalan  lurus  di  depanku,
              berpuluh-puluh  kilometer  menuju  kampungku.  Aku  ingin  menyusul
              ayahku dan aku mulai  berlari.  Aku melintasi halaman-halaman sekolah,
              kompleks perkantoran, dan pasar. Aku berlari melalui kampung-kampung
              kecil  sampai  keluar  Magai,  tapi  aku  tak  melihat  ayahku.  Beliau  jauh  di
              depan.  Matahari  sudah  condong,  aku  berlari  di  atas  aspal  yang  panas,
              aku  maraton  tak  berhenti.  Aku  menolak  ajakan  kendaraan-  kendaraan
              yang  melewatiku.  Aku  kelelahan  tapi  aku  akan  berlari  dan  terus  berlari
              sampai kujumpai ayahku. Kini aku sampai di jalan panjang yang tampak
              seperti  garis  hitam membelah padang sabana  yang  luas. Semak  belukar
              meliuk-liuk keemasan disirami cahaya matahari, bergulung-gulung diaduk
              angin yang terlepas bebas. Di sana, di ujung garis yang sunyi itu kulihat
              satu  noktah,  ayahku!!  Aku  berlari  semakin  kencang  seperti  layangan
              kertas  kajang  berwarni-warni,  seperti  orang  Indian,  Aku  berlari  sampai
              perih  kaki-kakiku,  Aku  berhasil  menyusul  ayahku  ketika  beliau  sudah
              berada  di  tengah  jembatan  Lenggang.  Saat  aku  berlari  di  samping
              sepedanya,  ayahku  terkejut  dan  tersenyum,  Sebuah  senyum  lembut
              penuh kebanggaan..
                  “Ikal... , “katanya Kuambil ali mengayuh sepedanya, beliau duduk di
              belakang.  Tangan  kulinya  yang  kasar  dan  tua  memeluk  pinggangku.

                                          96
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103