Page 97 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 97

nomor  75  namun  beliau  tetap  cuti  dua  hari,  dan  tetap  melakukan
              prosedur yang sama, dengan suasana hati yang sama, untuk mengambil
              raporku.  Harum  daun  pandan  dari  baju  safari  ayahku  membuat  air
              mataku  mengalir. meskipun akan kupermalukan, ibuku tetap merendam
              daun pandan sehari semalam untuk menyetrika baju safari ayahku. Dan
              ayahku dengan senang hati datang jauh-jauh mengambil raporku dengan
              bajunya  yang  terbaik,  dengan  bajunya  yang  paling  wangi.  Aku  tak
              mampu  bicara  ketika  beliau  menyapa  kami  dengan  salam  pelan
              Assalamu’alaikum tersenyum, dan menepuk-nepuk pundak kami dengan
              bangga, persis sama seperti kebiasannya selalu..
                  Membayangkan apa yang dialami ayahku di dalam aula, kurasakan
              seakan langit mengutukku dan bangunan sekolah rubuh menimpaku. Tak
              lagi  kudengar  tepuk  tangan  ketika  nama  ayahku  dipanggil  untuk
              mengambil  raporku.  Yang  kudengar  hanya  orang  kasak-kusuk  bertanya
              mengapa  prestasi  sekolahku  sampai  anjlok  begitu.  Bagaimana  ayahku
              yang  pendiam  akan  menjawab  berondongan  pertanyaan  yang  hanya
              akan menyakiti hatinya? Aku terpuruk dalam penyesalan. Betapa aku ini
              anak tak berguna!! Betapa sampai hati pada ayahku..
                  Sungguh  berat  detik  demi  detik  kulalui  menunggu  ayahku  keluar
              dari  aula.  Dan  akhirnya,  beliau  meninggalkan  aula.  Langkahnya  tetap
              tenang seperti dulu aku masih berprestasi. beliau menghampiri kami dan
              tersenyum. Senyum itu adalah senyum kebanggaan khas beliau yang tak
              sedikit  pun  luntur,  persis  seperti  dulu  ketik  aku  masih  di  garda  depan.
              Ketika beliau menatap kami satu per satu, masih jelas kesan bahwa apa
              pun yang terjadi, bagaimanapun keadaan kami, kami tetaplah pahlawan
              baginya.  Beliau  senantiasa  menerima  apapun  adanya  kami.  Aku
              tertunduk diam, hatiku hancur dan air mataku kembali mengalir. Seperti
              kebiasaannya,  beliau  menepuk-nepuk  lembut  pundak  mai  dan
              mengucapkan  sepatah  salam  dengan  pelan.  Aku  tersedu  sedan  melihat
              ayahku   menaiki   sepedanya   dan   tertatih-tatih   mengayuhnya
              meninggalkanku. Dadaku ingin meledak memandangi punggung ayahku
              perlahan-lahan meninggalkan halam sekolah..
                  “Puaskah  kau  sekarang!!  ??  Arai  menumpahkan  kemarahannya
              padaku..
                  Aku membelakanginya..
                  “itukah maumu? Melukai hatinya?? “Aku masih membelakangi Arai
              karena aku tak ingin melihat pipiku telah basah..
                  ’Apa yang terjadi denganmu, Ikal?? Mengapa jadi begini sekolahmu?
              Ke mana semangat itu?? Mimpi-mimpi itu?? !! ”.
                  Arai geram sekali. Ia tak habis mengerti padaku..
                  ’Biar  kau  tahu,  Kal,  orang  seperti  kita  tak  punya  apa-apa  kecuali

                                          95
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102