Page 94 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 94

beberapa perak uang receh dari nakhoda. Buat apa aku bersitegang urat
              leher  berdebat  di  kelas  soal  geometri  ruang  Euclidian  yang  rumit,  jika
              yang  tersisa  untukku  hanya  sebuah  ruang  los  sempit  2  x  2  meter  di
              dermaga.  Pepatahku  sekarang  adalah  pepatah  konyol  kuli-kuli  Meksiko
              yang  patah  arang  dengan  nasib:  ceritakan  mimpimu,  agar  Tuhan  bisa
              tertawa..
                  Tapi sebaliknya, demi Tuhan, sahabatku Jimbron memang makhluk
              yang  luar  biasa.  Meski  peningkatan  prestasinya  amat  mengesankan—ia
              baru  saja  mempersembahkan  tempat  duduk  nomor  128  pada  Pendeta
              Geo dari nomor kursi 78 semester sebelumnya—tapi ia sangat optimis..
                  Sore ini ia sudah berdiri tegak di dermaga menunggu kapan barang.
              Minggu lalu ia memesan sesuatu pada mualim kapal, sahabatnya..
                  “Pak Cik, tolong belikan aku celengan kuda di Jakarta.
                  “Jimbron  menjadi  sahabat  mualim  karena  telah  membantunya
              menyetrika  tatonya.  Setelah  tua  dan  ingin  salat  sang  mualim  baru
              menyadari ketololan masa mudanya menato tubuhnya..
                  “Dua buah, Pak Cik, dua buah...
                  ““Tak  cukup  hanya  satu,  Bron??  ““Dua,  Pak  Cik,  kalau  bisa  yang
              berwarna putih dan hitam.
                  “Sudah  tahu  kesintingannnya  akan  kuda,  mualim  itu  tak  lagi
              bertanya  mengapa  satu  celengan  kuda  saja  tak  cukup.  Satu  celengan
              kuda adalah apa yang kita sebut normal, adapun dua celengan kuda kita
              sebut obsesif kompulsif. Abnormalitas adalah isu yang pas untuk Jimbron.
              Dan hari ini ia senang tak terperi karena celengan sebesar anak kambing
              itu datang..
                  “Celengan untuk melanjutkan sekolah!! “pekiknya bersemangat..
                  Kami  mengamati  kuda  dari  tanah  liat  dalam  gendongannya.  Tak
              berminat membahasnya, tapi Jimbron sudah seperti orang kebelet pipis,
              tak kuat menahan cerita kudanya..
                  “Ah,  ini  hanya  kuda-kuda  lokal  saja,  Kawan,  tapi  cantik  juga
              bukan...  ?? ?  “Seakan  kami  bertanya,  seakan kami peduli, seakan  kami
              sangat tertarik..
                  “Yang ini jelas kuda Sumbawa... dan yang putih ini, kalau kutengok
              hidungnya,  ah,  ini  ku...  kuda  sandel  saja,  populasinya  banyak  di  Jawa
              Barat, biasa dipakai untuk hiburan delman keliling kota...
                  “Bangga  suaranya,  senang  hatinya,  dan  cerah  wajahnya.  Ia
              melenggang,  memindahkan  tabungannya  dari  bawah  kasur  dan
              membaginya  rata dua  bagian. Masing-masing  bagian itu dimasukkan ke
              dalam kuda  hitam dan kuda  putih. Nanti  setiap ia mendapat  upah dari
              nakhoda,  dibaginya  dua  dengan  rata  dan  dimasukkannya  ke  dalam
              kedua  celengan  kuda  itu.  Kami  hanya  bisa  menggeleng-gelengkan

                                          92
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99