Page 96 - Sang Pemimpi by Andrea Hirata (z-lib.org)
P. 96

harapan  orangtua!!  Tak  tahukah  engkau,  Bujang??  Tak  ada  yang  lebih
              menyenangkan ayahmu selain menerima rapormu?? “Hatiku sakit, perih
              sekali..
                  “Kamulah harapan beliau satu-satunya, Ikal.
                  “Seluruh air yang ada dalam tubuhku naik ke kepalaku..
                  “Ah,  ayahmu,  Ikal,  diundang  pelantikan  bupati  pun  baju  safarinya
              tak beliau keluarkan. Hanya untukmu Ikal, yang terbaik dari beliau selalu
              hanya untukmu...
                  “Air itu  tumpah ruah berlinangan melalui mataku. Malam turun di
              Magai  seperti  hanya  untukku. Kata-kata Pak Mustar laksana gelap yang
              mengikatku  rapat-rapat,  menyiksaku  dalam  detik  demi  detik  yang  amat
              lama seumpama  pergantian musim.  Akankah  esok ayahku datang?  Aku
              mengutuki diriku sendiri..
                  Tak  sepicing  pun  aku  dapat  tidur.  Aku  terpuruk  dalam  sekali.  Tak
              pernah  aku  mengalami  malam  yang  tak  kunjung  berakhir  seperti  ini.
              Dalam  situasi  moral  yang  paling  rendah,  kenangan  lama  yang  pedih
              seakan  hidup  kembali,  menyerbuku  tanpa ampun. Bayangan itu seperti
              film  yang  berputar-putar  mengelilingiku,  menari-nari  seperti  hantu.  Aku
              melihat Arai—anak kecil yang menungguku di tengah ladang jagung, aku
              teringat  perpisahan  dengan  sahabatku,  Lintang  yang  menghancurkan
              hatiku,  aku  teringat  nasib  pilu  seorang  laki-laki  bernama  Bodenga,  dan
              aku sadar betapa sejak kecil kami telah menjalani kehidupan yang keras
              demi pendidikan..

                                      ***********

              Pagi-pagi  sekali  aku  dan  Arai  telah  menunggu  ayahku  dengan  harapan
              yang amat tipis beliau akan datang, Dan kami maklum jika beliau enggan
              bersusah  payah  berangkat  pagi  buta  mengayuh  sepeda  tiga  puluh
              kilometer, melewati dua bukit dan padang, hanya untuk dipermalukan..
                  Sejak  mengetahui  aku  terdepak  dari  garda  depan  karena
              kepicikanku  sendiri.  Arai  sudah  malas  bicara  denganku.  Aku  gelisah
              menyaksikan para orangtua murid berduyun-duyun menuju aula. Mataku
              lekat memandangi jalan di luar gerbang sekolah. Ayahku tak kunjung tiba.
              Arai menatapku benci. Hatiku hampa..
                  Tapi tiba-tiba mataku silau melihat kap lampu aluminium putih dari
              sepeda  yang  dikayuh  seorang  pria  berbaju  safari  empat  saku.  Ia
              mengayuh  sepedanya  kelelahanm,  terseok-  seok,  dan  semakin  cepat
              ketika  melihat  kami.  Berhenti  di  depan  kami,  pria  itu  menyeka
              keringatnya.  Aku  tertegun  dan  dadaku  sesal  melihat  lipatan  mengilap,
              serta kumis dan rambutnya yang dicukur rapi. Beliau akan duduk di kursi

                                          94
              -Sang Pemimpi-                                                                                                                     ADEF
   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101